Perempuan cantik dan manis berambut lurus dikuncir dua siap berangkat ke sekolah. “Elris!” teriak si Nenek yang sudah tua, sudah umur 60-an tahun. “Ini bekal kamu ketinggalan,” kata Nenek sambil tersenyum. Anak perempuan tersebut menunjukkan dua gigi depan yang hilang. “Oh iya, makasih ya Nek,” kata Elris yang juga sambil tersenyum.
“Elris!” serunya. Laki-laki memakai pakaian yang sama seperti milik Elris dia terlihat imut. “Ayo!” ajaknya. Dia sedang menaiki sepedanya yang terlihat bagus. “Aku berangkat Nek,” kata Elris tak lupa Elris mencium tangan Nenek yang terlihat uratnya. Elris dan Raden melambaikan tangan untuk salam perpisahannya.
***
Suara kebisingan yang membuat sekolah menjadi ramai, banyak anak berkeliaran kesana kemari. Berlarian, main kejar-kejaran. Seorang anak perempuan dengan rambut berkuncir dua yaitu Elris menghampiri seorang anak perempuan berambut lurus pakai bando yang sedang bermain seru dengan temannya.
“Apa aku boleh ikut main?” katanya dengan nada pelan.
Dengan berlagak sombong anak itu bicara kasar kepada Elris. “Aku gak sudi main sama kamu! Sana pergi! Ganggu urusan orang aja!” katanya sambil mendorong Elris.
Elris menunduk sedih dan berjalan pulang dengan tubuh yang lesu.
***
Suara tangisan memenuhi ruangan yang gelap, tidak ada seorangpun di dalam ruang kelas. Tangisan yang tersedu-sedu membuat dia tenggelam dalam tangisnya.
“Hai namaku tono, kamu kenapa menangis?” suara anak laki-laki tersebut mengagetkannya yang membuat Elris langsung terdiam. Pintu kelas terbuka lebar membuat ruangan sebagian terang. Terdapat kain yang membalut jarinya yang dipoles dengan sebuah gambar mata dan senyum lebar. “Kamu kenapa menangis?” katanya lagi.
Elris malah menangis lagi. “Jangan nangis lagi, kan masih ada aku disini,” anak laki-laki itu menampakkan wajah imutnya di depan Elris. “Kok kamu malah nangis, kamu kenapa?” katanya khawatir.
“Aku gak punya teman,” jawab Elris sambil menangis.
“Aku punya sesuatu buat kamu,” dia mengeluarkan balon tiup sedotan. Sedotan dibalut dengan sebuah cairan sedikit kental dan ia tiupkan. Gelembung besar diciptakan hingga membuat Elris tertegun memandang. “Ini,” dia berikan ke Elris. Elris membuat mulutnya melengkung membentuk senyuman. Raden terlihat senang melihat temannya tersenyum lebar.
"Sekarang jangan nangis lagi," katanya sambil tersenyum manis.
***
Sore berganti malam, ruangan menjadi terang benderang. Nenek sedang duduk di kursi goyang yang terbuat dari kayu. Benang yang masuk di jarum membuat sebuah rajutan yang bagus. Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Nenek meletakkan rajutannya dimeja dan beranjak dari kursi.
Membuka pintu berwarna merah muda yang terdapat tulisan KAMAR ELRIS. Melihat seorang anak tertidur pulas diatas meja. Wajahnya terlihat terang dari sorot lampu menyinarinya, terdapat banyak kertas berserakan di lantai.
Coretan di buku pun terlihat banyak. Ia pun mengambil buku yang terdapat tulisan IBU. Raut wajah Nenek berubah menjadi sedih, seperti tak kuasa melihatnya. Nenek mengelus rambut Elris.
Elris perlahan bangun. "Nenek... Nenek kenapa? kok nangis?" tanya Elris setengah ngantuk.
"Nenek tidak apa-apa, Elris tidur di kasur ya, kalau tidur disini nanti sakit," kata Nenek mencoba tersenyum.
"Iya Nek," jawab Elris sembari mengucek mata.
Elris tidur di kasurnya yang berwarna pink. Nenek duduk di samping Elris dan kemudian menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur.
***
Suasana begitu ricuh membuat risih bagi telinga yang sensitif. Seorang anak perempuan duduk sendiri dengan bermain kaki. Dia terlihat sedih tulisan banner yang terpampang besar HARI IBU membuat dia sangat tak bersemangat. Rasa iri menggebu dengan melihat seorang anak berinteraksi manis kepada Ibunya.
“Elris,” suara lembut mengagetkan Elris yang sedang fokus. melihat anak tersebut. Nenek mengelus kepala Elris dengan lembut. “Elris kenapa sedih?” kata Nenek khawatir. Elris tidak memberikan jawaban apapun.
Seorang pembawa acara datang diatas panggung yang megah dengan mengucapkan salam pembuka untuk acara. Banyak anak yang demam panggung saat menaiki panggung megah tersebut, namun mereka pihak penyelenggara tidak memaksa anak-anak, takutnya malah menjadi trauma.