Raelia

Mizan Publishing
Chapter #1

Pink Lace

Merah

Seperti kulit apel washington. Ada renda-renda cantik di tepiannya dan anggrek ungu plastik yang ditanam ke dalam vas kaca di tengah-tengah meja. Aku sedang membicarakan taplak meja di Berry-Tasty, sebuah restoran cantik di utara Kota Bandung.

Dan aku membenci warna taplak ini.

Come on, Candies. Jangan sampai prom nite akhir semester nanti kita datang tanpa pendamping. That would be pathetic.”

“Aku tetap enggak mau jalan sama cowok yang aku enggak suka. Meskipun dia ganteng.”

“Aku enggak ngomongin soal gantengnya, Rin. Aku ngomongin soal ‘datangnya’. Who cares kalau kamu mau jalan bareng nerd atau gembel sekalian.”

“Enggak gitu juga, Katarina. Buat aku, who-the-lucky- guy is important. Mungkin aku perlu sedikit waktu buat, ya ... getting to know each other.”

Rini dan Katarina sedang membahas soal cowok untuk dibawa ke prom nite. Harusnya mereka bicara bertiga. Namun, aku lebih senang melamun dan memikirkan hal lain. Misalnya, perpindahan work desk-ku dari Fashion Spread ke Travel Article.

Aku bergabung dalam sebuah organisasi majalah remaja se-Kota Bandung. Anggotanya berasal dari puluhan murid SMA di seantero kota dan setiap bulannya, kami akan menerbitkan majalah remaja bernama Periwinkle.

Pemerintah lokal bekerja sama dengan media-media cetak turut mendanai program tersebut. Hingga hari ini, kami sudah menerbitkan 29 jilid dan menjual lebih dari 500.000 eksemplar.

Aku sudah bergabung cukup lama bersama Periwinkle. Awalnya, aku tergabung di Divisi Creative Exploder, bagian yang menentukan tema apa yang akan digunakan dalam release bulan depan. Kemudian, aku dipindahkan ke Fashion Spread, kolom khusus tren busana remaja Kota Bandung, dan aku sudah lima bulan berkutat di sini. Mendadak, hari ini, aku dipindahkan ke Travel Article. Jujur saja, itu membuatku gugup. Pertama, aku bukan tipe cewek yang suka travelling. Kedua, logo spread-nya merah.

Aku benci warna merah.

“Sekarang kita tanya Rae.” Katarina menoleh ke arahku sambil menyipitkan mata. “Rae, kamu enggak lagi ngelamun, kan?”

“Bukan itu pertanyaannya, Kat,” ralat Rini.

“Aku enggak ngelamun,” bualku. “Mau nanya apa?”

“Kamu setuju, kan, kalau kita enggak perlu kenal lebih jauh cowok yang mau kita ajak ke prom nite?”

Hari ini, seharusnya menjadi Sabtu yang tenang untukku. Bangun tidur, aku sudah membayangkan skenario sempurna: (1) sarapan toast isi potongan-potongan leci, (2) menyusuri Jalan Cisangkuy yang teduh menuju kantor Periwinkle, (3) mampir ke sana untuk membeli yoghurt, (4) membenamkan diri dalam rencana artikel fashion edisi bulan depan, (5) sore harinya, ketemuan sama Rini dan Katarina di Berry-Tasty untuk menyesap crème brûlée, dan (6) menghabiskan malam minggu menonton di bioskop atau membereskan tumpukan CD di kamar. Namun, Rini dan Katarina malah datang ke Berry-Tasty dengan agenda membahas cowok prom nite.

Aku enggak ada masalah dengan topik itu. Hanya saja aku sedang memikirkan hal lain. Sesuatu di luar dugaanku.

“Aku ... enggak sepenuhnya setuju,” kataku, menjawab pertanyaan Katarina. Sambil buru-buru menambahkan, “Tapi, itu bukan ide jelek, kok.”

“Gimana kalau cowoknya psikopat?” sahut Rini. Katarina memutar bola mata. “It was just a night.

Kalau kamu mau ngelupain dia jam dua belas malem, misalnya kayak Cinderela, it’s okay. Poin yang pengin aku tekankan adalah ... jangan sampai kita datang ke prom nite tanpa someone. Karena nanti orang-orang ngiranya kita: pathetic.”

“Atau awesome. Misal, nih ya, kita jalan bertiga, kayak cewek-cewek mandiri yang enggak butuh cowok demi prom nite semata. Persis cewek-cewek chic yang sophisticated. Kayak di buku-buku chicklit,” cetusku, berusaha menengahi.

“Kayak yang di film Mean Girls?” Katarina memutar otaknya.

Aku, bersama Katarina dan Rini, menamakan diri Cotton Candy. Kami menyukai semua hal berbau pink. Bahkan, kami punya spesifikasi tersendiri. Aku paling suka soft pink, seperti krim strawberry shortcake, kelopak bunga sakura, atau bias cahaya mutiara. Rini, seperti karakternya, menyukai shocking pink karena di antara kami, dia yang paling berani dan tampil heboh. Sementara Katarina menyukai flirty pink, sehingga dia disukai banyak orang, sekaligus menarik perhatian. Terkadang, kami memanggil satu sama lain dengan sebutan Candy. Dan tampaknya, orang-orang sudah mengorelasikan kami dengan ketawa-ketiwi di kafe sambil menyesap latte, lalu membahas majalah cewek.

Kami bertiga sebenarnya punya passion yang berbeda, sesuai warna pink favorit masing-masing. Aku menyukai segala sesuatu yang lembut, seperti hujan pada sore hari yang hangat, manisnya rainbow cake ditemani matcha yang kehijauan, atau karpet lembut warna krim yang ada di rumah Katarina. Rini menyukai apa pun yang kuat dan keras, sementara Katarina lebih adventurous―berani menemukan hal-hal baru.

Kami sudah bersahabat cukup lama. Sudah menghabiskan banyak soft-cake di seantero kota, sambil mengomentari setelan orang-orang yang lewat. Atau, keliling Parijs van Java tanpa juntrungan, berlagak seperti anak orang kaya yang mau memborong semua di toko yang ada.

Lihat selengkapnya