Raelia

Mizan Publishing
Chapter #2

Cherry Blossom

Kuning keemasan.

Persis kilauan yang ada pada kostum penari Bali. Setiap jahitannya tampak dijalin emas. Setiap pernak-pernik mengilat kekuningan menghiasi mahkota kepalanya. Juga kuku-kukunya yang keemasan. Semua bayangan tentang Bali yang penuh warna emas menghantui pikiranku. Aku belum pernah pergi ke Bali. Bahkan, aku belum pernah meninggalkan Pulau Jawa.

Sudah lima puluh menit, sejak Erica menelepon untuk menyampaikan informasi tersebut. Aku mengecek jam di layar ponsel. Ya, lima puluh menit yang lalu.

Sekarang, lima puluh satu.

Aku enggak menyangka akan dikirim Periwinkle ke Bali, selama tiga hari dua malam. Di sana, aku harus mendatangi pantai-pantai keren dan membuat liputan. Nanti, aku kebagian delapan spread dalam Periwinkle khusus untuk travelling Bali, termasuk suggestion culinary untuk Cooking Column, beach-suit fad untuk Fashion Spread, hingga kehidupan anak SMA di sana untuk Teencademic Topstyle―rubrik khusus murid SMA.

Tanganku masih bergetar membayangkan dikirim secara resmi ke sebuah tempat asing, lalu diminta membuat liputannya. Ini terasa seperti ... jurnalis beneran! Padahal, aku masih enam belas tahun. Naik pesawat terbang saja belum pernah.

Rini dan Katarina sudah meninggalkanku sejak dua puluh menit lalu. Rini harus mengikuti latihan capoera, sementara Katarina enggak mau menghabiskan waktu di Berry-Tasty sampai petang, lalu melewatkan ngecengin cowok-cowok cakep di mal. Kini, aku sendirian di depan meja bertaplak merah apel washington yang kubenci. Aku memesan smoothies mangga, supaya bisa duduk lebih lama. Jujur saja, aku masih terguncang.

Rini yang mampu menebak kalau Erica baru saja menelepon, memintaku untuk segera menutup telepon. Dia kira, Erica sedang mengoceh enggak penting di telingaku. Namun, aku tetap mendengarkan ocehan Erica sampai selesai. Dan ketika kuceritakan trip tadi, kepada Rini dan Katarina, mereka berdua mendukung penuh. Bahkan, mereka heboh sekali. Seolah-olah, merekalah yang akan pergi ke Bali. Sementara aku? Aku duduk dan terguncang.

Bagaimana kalau aku tersesat di sana?

Kamu enggak akan pergi sendiri, kok. Aku udah minta rujukan supaya aku ikut nemenin kamu. Tapi, Kak Dita enggak setuju. Maaf, yaaa ..., aku enggak bisa nemenin kamu. Padahal aku udah bilang kalau kamu pasti seratus persen tersesat di sana, jadi perlu ada yang nemenin. Cuma tetep saja Kak Dita enggak setuju. Nyebelin, ya dia? Jadi, kamu nanti bakal ditemenin sama Adam. Dia yang bakal jadi fotografernya. Kalian berdua yang berangkat.” Itulah yang Erica katakan di telepon tadi, ketika aku mulai ragu apakah akan berangkat atau enggak.

Hal tersebut membuat aku semakin ketakutan. Adam.

Fotografer jail dan ceroboh itu?

Dia satu-satunya cowok yang Rini dan Katarina yakin bakalan cocok denganku. Aku enggak mengerti maksud mereka. Namun, selama ini, Katarina selalu berusaha menjodohkanku dengan Adam dan parahnya Rini setuju. Biasanya, Rini paling anti sama topik-topik cowok, kecuali membicarakan aku dan Adam. Aku, sih, enggak yakin aku dan Adam cocok. Lagi pula masa, iya, Adam bakal menyukaiku?

Aku percaya, kalau Rini dan Katarina menjodohkanku dengan Adam karena mereka tahu, Erica cinta mati sama Adam. Rini dan Katarina, kan, benci juga sama Erica. Jadi apa pun yang Erica berusaha raih, harus selalu aku raih duluan. Ketika aku bilang Adam akan menemaniku, Rini dan Katarina semakin heboh berteriak-teriak di Berry- Tasty. Seolah-olah mereka sedang menggelar konser rock.

Aku ditinggal dalam kebimbangan, sementara smoothies mangga hampir habis. Aku baru menyadari jika sedang kalut seperti ini, aku lebih cepat menghabiskan minuman. Padahal, aku belum ingin meninggalkan Berry- Tasty. Tempat ini masih nyaman untuk menenangkan diri. Di luar warna taplaknya yang kubenci, di sini ada wallpaper ceri yang cantik dan perabotan dari kayu berpelitur mengilat. Juga, lagu-lagu klasik yang mengalun lembut dari speaker di sudut-sudut langit-langit. Dan tentu saja, seragam pelayannya yang cantik―ungu muda dengan polet emas di pinggirannya. Aku masih betah menghabiskan tiga jam ke depan melamun di sini.

Masa iya, sih, aku harus mengeluarkan Rp24.000,00 tambahan untuk smoothies lain agar aku bisa duduk lebih lama?

“Gelasnya mau diangkat?” Seorang pelayan meng- hampiri mejaku untuk mengangkat gelas smoothies yang jelas-jelas sudah habis.

Aku mendesah pasrah. Pelayan ini pasti mengangkat gelas karena ingin mengusirku. Bukan salah mereka juga, sih. Berry-Tasty selalu ramai setiap malam minggu. Mana mungkin mereka mempertahankan pelanggan dengan gelas smoothies kosong selama tiga jam berikutnya.

Aku membiarkan pelayan membereskan gelas. Dengan lesu, aku bersikap seolah mau membereskan barang-barang. Ketika pelayan itu sudah lenyap ke dapur dan tasku siap dibawa pergi, seseorang menghampiri mejaku.

Dia cowok. Tamu juga, bukan pelayan Berry-Tasty. Setelannya tampak rapi, bahkan tampak mahal. Dia mengenakan celana chino gelap, dipadu dengan kaus V-Neck berwarna senada dan jas satin tipis yang tampak mahal. Kulitnya putih, persis artis FTV. Bahkan, aku sempat curiga dia artis FTV beneran. Kukira dia hanya lewat saja. Namun, dia rupanya berbicara kepadaku.

“Ini kosong, ya?” tanyanya.

Dia datang sendiri. Aku mengedarkan pandangan dan enggak menemukan siapa pun mengekorinya. Malah, aku baru menyadari kalau seisi Berry-Tasty sudah penuh dan ada sekumpulan orang terdaftar dalam waiting-list di luar.

Aku menatap cowok itu. Entah pikiran dari mana, mendadak, aku mengamati kalau cowok ini imut juga. Kulitnya mulus, alisnya tebal, dan bibirnya tipis. Ya ampun, masa iya aku mulai tertular Katarina.

“Mbak? Mejanya kosong, kan, sekarang?” tanyanya lagi.

“Oh, iya,” kataku, langsung berdiri. “Maaf. Aku udah selesai, kok.”

Aku merapikan sejumput rambut yang jatuh ke pipi lalu membereskan tas dan syal dengan canggung. Cowok itu memperhatikanku dengan tatapan kosong. Matanya tampak sedih.

“Kenapa?” Aku mendengar diriku menanyakan hal itu kepadanya. Sesuatu yang sebenarnya bukan aku banget. Biasanya, aku enggak pernah menjadi conversation- starter. Namun, mata sedihnya barusan tiba-tiba mem- buatku bereaksi seperti itu.

Dia menggeleng. Berusaha tersenyum, tetapi tetap sedih.

“Gagal malam mingguan?” Lagi-lagi, aku mendengar diriku melakukan sesuatu yang bukan aku banget. Bahkan, kurasa yang barusan bisa dianggap kurang ajar. Apa urusannya coba aku menanyakan hal itu?

Namun, cowok itu malah tersenyum lagi. Kali ini lebih lepas. Enggak terpaksa seperti sepuluh detik sebelumnya. “Kenapa kamu mikirnya saya gagal malam mingguan?”

“Eh, enggak usah dijawab, kok. Maaf. Hehehe ”

Aku menggetok kepala sendiri. “Silakan, silakan duduk. Abaikan saja pertanyaan yang barusan. Aku sekarang mau pulang, kok.”

“Kenapa?”

“Apa?”

“Kenapa kamu kira saya gagal malam mingguan?”

Kenapa cowok ini masih membahasnya? “Bukan maksud aku buat ngirain kamu gagal malam mingguan. Aduh, aku beneran minta maaf. Seriusan, deh. Enggak perlu dengerin yang barusan. Aku kelepasan. Hehehe.” Cowok itu menelan ludah dengan posisi masih berdiri. “Buat saya, kelepasan tanda kejujuran. Berarti ada yang ingin kamu sampaikan dan tanpa sengaja itu keluar begitu aja.”

Aduh, aku enggak tahu harus merespons apa. “Ng... iya, sih.”

“Saya enggak gagal malam mingguan. Malam minggu saya masih panjang,” katanya.

“Maksud aku―.”

“Duduk,” katanya lembut.

Lihat selengkapnya