“Pink.”
“Iya, kelihatan. Cewek banget.”
“Bukan karena cewek banget, tapi karena aku suka saja warna lembut itu. Kayak gini, nih. Kayak cover hapeku.”
“Itu warna puding stroberi yang kebanyakan air.” Aku tertawa. “Boleh juga. Atau warna bunga sakura.
Cantik, kan? Jadi, apa warna favorit kamu?”
“Saya?” Chris mendesah. “Merah.” “Itu warna yang paling aku benci.” “Lho, kenapa?”
“Karena itu warna darah. Itu juga warna nilai rapor yang di bawah KKM. Warna api yang membakar. Warna yang nyuruh berhenti di setopan jalan. Warna yang ngelarang orang-orang ngelakuin ini itu. Juga warna yang bikin sakit mata kalau dilihat terus-terusan. Hiii ”
Chris tertawa. “Ah, enggak juga. Itu warna yang berani. Warna yang romantis.”
“Kamu salah. Warna yang romantis itu warna pink.” “Kayak gimana romantisnya?”
“Hmmm Aku enggak bisa ngejelasin, sih. Tapi, itu
warna yang romantis.” Kami berdua tertawa.
Tiga puluh menit sudah aku menghabiskan malam ini bersama Chris. Oreo cheesecake-ku tinggal seperempat dan teh hangatku sudah habis. Aku melihat Chris sedang menghabiskan tegukan terakhir sodanya. Kami berbicara tentang warna di balik bayang-bayang lilin yang temaram. Chris sedari awal duduk di balkon, bukan di dalam ruangan. Sehingga angin dingin Bandung sesekali mencubit tanganku.
“Mau pakai jaket saya?” tawar Chris.
Aku melepaskan pelukan pada diri sendiri. “Ah, enggak usah. Enggak apa-apa.”
“Daripada masuk angin.” Chris menaikkan jaket kulit motornya dari bawah. Dia lalu berdiri dan menyampirkannya ke bahuku. Jaket itu beraroma kulit yang khas. Seperti sofa di rumahku. Ditambah ada wangi musky yang menguar dari dalamnya. Aku bisa mendeskripsikan Chris sebagai cowok keren yang menghabiskan waktu melakukan adegan-adegan macho seperti melompat dari motor di depan ledakan besar atau menjadi pusat perhatian dalam sebuah kelab malam. Atau mungkin dia DJ-nya. Bisa jadi. Dia tidak seperti orang biasa saja.
“Makasih,” kataku, ketika Chris kembali duduk dan menyuap cheesecake terakhirnya dengan gentle. “Kamu udah baikan?”
Chris menaikkan alisnya. “Baikan dari?” “Perasaan pengin bunuh diri.”
Chris menyengir sejenak. “Hahaha .... Ya, ya. You saved my life. Again. Thanks. Tapi sekali lagi, saya serius soal bunuh diri itu.”
“Okay. Enggak apa-apa. Syukur, deh, kalau malam ini bisa selamat lagi. Aku, sih, masih berharap kamu bercanda soal bunuh diri itu,” kataku, menelan ludah.
Chris mengaku enggak bercanda ketika dia bilang ingin bunuh diri. Bahkan, wajahnya tampak serius. Mungkin kalau ada Rini di sini, dia akan setuju bahwa Chris enggak bercanda. Dia enggak pernah bilang alasan mengapa ingin bunuh diri. Dia hanya bertumpu kepada siapa pun yang dapat membuatnya berubah pikiran setiap hari. Sabtu malam kemarin, aku berhasil membuatnya bertahan semalam lagi. Aku enggak tahu siapa yang membuatnya batal bunuh diri pada Minggu dan Senin malam. Aku masih tetap yakin, dia hanya bercanda.
“Makasih karena mau peduli sama saya. Malam ini sama kayak malam minggu kemarin―we’re having fun! Nanti saya yang bayar pesanan kamu, Raelia. Enggak usah khawatir.”
“Kamu udah kerja?”
Chris menggeleng. “Saya masih kuliah.” “Aku panggil Kakak kalau gitu—.”
“Enggak usah.” Chris mengibaskan tangan. “Tolong berinteraksi sebagai sesama manusia. Kita sama derajatnya, enggak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Bahkan umur pun bukan patokan siapa yang perlu dihormati. Itu cuma perbedaan siapa yang lahir duluan saja.”
Aku mengangguk. “Tapi, kalau aku dibayarin terus- terusan, nanti uang kamu bisa habis.”
“Bukan uang saya. Ini uang orangtua saya. Enggak apa-apa. Kalau mau pesan, pesan lagi saja.”
Aku menggeleng. “Udah cukup, kok. Yang aku penginin malam ini udah tercapai.” Kemudian, aku melamun.
“Giliran saya yang nanya, ya, sekarang.” Chris membungkukkan badan. Kedua tangannya dilipat di atas meja dan tatapannya tampak serius memandang wajahku. “Kenapa kamu melamun?”
“Aku enggak ngelamun.”
“Malam minggu kemarin, kenapa kamu melamun?”
Aku mendesah. “Oh, itu. Aku dikirim ke Bali sama organisasi aku, buat ngeliput soal daerah itu. Kan, kemarin aku udah cerita kalau aku nyari pengalaman di Periwinkle.”
“Terus kenapa melamun? Ada masalah?”
Aku menggeleng. “Harusnya enggak. Tapi aku ..., enggak tahu kenapa ..., masih ragu. Aku takut. Aku belum pernah ke sana.”
“Kamu berangkat sendiri?”
“Sama teman, sih. Tapi, tetap aja ” Aku menatap Chris
yang tampak sedang asyik mengamatiku. “Kamu pernah ke Bali?”
“Sering.”
“Ada saran ke mana aku harus pergi? Editor cuma ngasih rujukan, tapi nantinya aku tetap yang nentuin sendiri. Aku bingung.”
“Saya juga. Kalau ditanya kayak begitu.” Chris kembali duduk tegak. “Tempat kayak gimana yang pengin kamu datangi?”
Aku mengangkat bahu. “Pantai?”