Nafas itu layaknya hilang bersama angin yang membawaku. Ruang itu kini telah ku pijak. Coretan tinta tanpa makna kian berhias di dinding kaku terkelupas. Samar bayangan sang galaksi, hanya itu.
Ruang gelap, layaknya hidup dalam sebuah kotak kecil yang dibuang di hutan belantara, sendirian. “ kenapa aku di sini?”
Hijau-hijau pucuk hanya bagai semut bergoyang-goyang. “aku dimana?”. Embun berhias di pipi dengan raungan tak berarti. “Bu…ibu..” hanya itu yang ada di benakku, hanya “ibu”.
Berulang-ulang namun semua sama, begitu sunyi! Jangankan suara ibu, suara daun bergoyang pun nyaris lenyap.
Tuk tuk, suara ketukan! “Siapa?” aku hanya bersandar lemah dengan guncangan rasa yang kuat. Ketukan itu perlahan menjadi langkah. Langkah-langkah yang mendekat, namun semua abstrak.
Sekian second mungkin jantungku berhenti berdetak. Air asin bergelayut di badanku, dan itu terasa. Yahh, itu berarti aku masih hidup! Tohh harum khasnya pun masih tercium.
“Sa, Shasa” dia memanggilku, lantas siapa? Detakan itu semakin berlari menjauhi raga tanpa jiwa. Ia telah sampai di sebrang sana, tapi kaki? Kaki masih di sini.
“Shasa?” panggilnya dengan pelan.”Siapa kamu” dengan berat tanpa menghirau tanya. ‘Kemarilah”. Aargh, jari mungilku membekap mulut penuh jerit. Lima jari kekar berlandas di pundakku. 180 derajat sontakku berbalik arah. Kibasan tangan tak mampu melepaskannya. “Ya Allah Dia siapa?” tanya tanpa kata.
Wajah garang berhias mata sayu dan itu tidak menarik tanpa sorotan tajam. “Ini saya, tidakkah kamu mengenalku?” sembari mengulurkan sebuah photo-photo yang tak pernah terbesit.
“Aksa Amertaku”. “Kam-mu?” mataku terbelalak, dan yaa mungkin dia.
“Ingatkah??”
“Yaa, mana lupa aku dengan bajingan sepertimu yang meninggalkanku tanpa kata. Mengapa kamu kembali? Apa kamu sudah tahu rasanya ditinggalkan?”
“Semua tidak seperti itu, kamu hanya memakan bangkai di sarangmu..”