Mimpi malam itu bagai replika rasa yang tak kusangka. Terjadi ambivalensi di sana. Bahkan air jiwaku pun akan berbalik arah ketika melihatnya. Bukan seperti anila yang mampu mengabaikan apapun di sekitarnya. Aku adalah Aksa Amerta, gadis bernama abadi yang akan kembali pada keabadian. Tapi siapa sangka jika seorang Shasa akan merasakan holokus jiwa. Terlebih disebabkan raga pahlawan sekaligus penjajah bagi relungnya.
Seolah tak berkawan. Aku bersenandika bersama pantai mati di hadapanku. Tidak ada ombak yang siap menyerbu, ataupun sekedar duduk beralaskan pasir putih. Semuanya semu, sama seperti harapanku.
“Harapan? Apakah aku berharap?”
Lagi-lagi wallpaper di hadapanku menjadi saksi bisu refisalayaku. Rasanya anala membakar habis isi kepalaku bersama dengan benci yang semakin menggebu serta rasa sakit yang membelenggu.
“AAaarrghh”. Aku menggeram meluapkan rindu berwujud benci dan amarah. Bergema dalam ruangan pemilik pantai itu.
Tanpa sadar air mataku mencair, berjatuhan membawa kebimbangan raga yang tak pernah ada ujungnya. ‘Aku baru tahu, ternyata rindu yang ditahan waktu berwindu tanpa temu mampu menimbulkan amarah sekaligus benci’.
“Rindu? Yang benar saja. Bahkan bertemu dengannya pun aku tak pernah”. Hanya sebuah nama yang aku tahu. Setidaknya itu satu-satunya hal yang terekam dalam ingatanku.
Sebuah pertemuan dalam mimpi tidak menjamin bagiku untuk mengenalnya di dunia nyata. Wajahnya tampak samar di sana. Sungguh aku mengutuk ketidaktahuanku. Andaikan ada satu saja petunjuk, mungkin semua tidak akan seabsurd ini.
Tentangnya, hanya sekelumit cerita bahwa ia masih hidup. Aku tidak pernah mengetahuinya lebih dari itu. Dia benar-benar sudah seperti orang asing bagiku. Dan kali ini, berandai-andaipun tidak ada gunanya. Semua akan sama, terasa tabu. Terkecuali aku menutup netra, kemudian beranggapan bahwa Siwon adalah dia. Sungguh sebuah delusi yang tidak akan pernah terjadi.
Akhirnya ku putuskan untuk membenamkan diri pada pembaringan. Menikmati setiap luka yang tersembunyi di balik raga. Menetralkan segala rasa yang mengganggu jiwa.
Namun apa guna raga berhenti bekerja, sedang hati dan fikir terus berkelana. Mencari jawaban dari ribuan pertanyaan yang terus menyerbu jiwa. Meski pada akhirnya tak bersua jua.
Mengapa ia meninggalkanku? Apa alasannya? Bagaimana bisa? Dimana dia sekarang? Apa mungkin sebenarnya ia menyayangiku, namun karena beberapa alasan ia tak mampu menunjukkannya? Atau mungkinkah terintimidasi keadaan misalnya? Atau mungkinkah aku yang tidak menyadari keberadaannya? Tapi mungkinkah ada sebuah matrik yang menjadi penghalang kasih sayangnya?
Martik? Mungkin saja. Sedikit masuk akal meski terdengar seperti matematika. Sebuah pembatas antara aku dengannya. Bagai dinding kokoh yang terbuat dari udara tanpa celah. Dinding yang kasat mata hingga aku tak menyadari akan keberadaannya. Sebuah dinding yang mampu ditembus rasa namun tak mampu dilalui raga. Terdengar seperti khayalan karena memang khayalan. Andai ku bercerita pada dunia pun, mungkin mereka tak akan meyakininya. Atau bahkan menganggapku gila?
“Aksa”. Ibu memanggilku setelah terdengar ketukan pintu. Aku terduduk dengan memfokuskan fikiran serta menyiapkan raga.
Kreeek.
Pintu terbuka. “Shasa” ibu mendekatiku.
“Iya bu,” suaraku terdengar serak.
“Kamu habis nangis? Ada apa?” tangannya membelai rambutku yang berantakan. Dari mimiknya, aku tahu bahwa ibu khawatir dengan keadaanku. Aku menggeleng pelan tanda baik-baik saja. “Berapa lama kamu menangis? Matamu sampai bengkak seperti ini. Ada masalah?”
Aku memegang lembut tangan ibu yang sedang mengusap sisa air mataku. “Aku baik-baik saja bu, dan akan selalu begitu”. Kugenggam tangannya serta tersenyum penuh pretensi. “Aksa hanya gelisah karena mimpi buruk tadi pagi” Ibu menghela napas panjang dan menghembuskannya. Syukurlah, mungkin ibu sudah lega karena jawabanku. Semoga saja.
Terus saja berbohong Sha, tidak ada yang tahu juga kan isi hati kamu seperti apa? Ah tidak, aku tidak berbohong! Aku memang benar gelisah karena mimpi itu, meski tidak sepenuhnya jujur bahwa aku memimpikannya. Dan aku juga baik-baik saja, Ya aku harus baik-baik saja!
“Sha, Aksa” ibu membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya bu”
“Ngelamunin apa lagi kamu?”
“Eum, anu bu nggak ada.”