Jika kebahagiaan ditandai dengan hadirnya mentari, akankah kebahagiaan lenyap bersama perginya senja? Jika begitu, bisakah aku bertahan sedangkan kebahagiaan telah pergi? Namun bukankah senja selalu meninggalkan kesan baik seolah memiliki candu hingga kita kerap kali menikmati pancarona cahayanya? Dengan begitu aku tahu, bahwa mentari bukan satu-satunya alasan tuk bersuka hati.
Jika kegelapan mampu menciptakan keindahan, akankah malam menjadi alasan kebahagiaan? Bukankah malam juga memiliki bintang yang tak kehilangan arti meski telah didominasi? Bahkan indahnya melebihi benderang sang mentari. Karena meski berada di tengah kegelapan, mereka tetap menyinari dengan penuh percaya diri. Menjadi diri sendiri. Membentuk galaksi seolah menghibur sang lara hati.
Jika pertemuan adalah kebahagiaan, apakah perpisahan berarti penderitaan? Sedangkan setiap pertemuan pasti dihadapkan pada perpisahan. Jika begitu, haruskah kita tidak perlu bertemu sehingga tidak akan pernah berpisah? Namun tidakkah itu terlalu egois? Bukankah bersedih karena perpisahan lebih baik daripada terkurung raga hingga tidak paham arti rasa? Karena justru perpisahanlah yang membuat pertemuan terasa lebih berharga. Hingga kita berlomba-lomba untuk menciptakan momen paling berkesan yang dapat diceritakan dipertemuan berikutnya.
Dan secara tidak langsung, perpisahanlah yang menciptakan pertemuan lainnya. Pertemuan yang mungkin saja lebih indah dan berkesan. Pertemuan yang dihadiahkan sang waktu kepada kita untuk merasa bahagia dan berharga ataupun sebaliknya.
Dengan begitu aku tahu, bahwa temu tidak selalu menjadi alasan untuk bahagia. Perpisahan pun tidak selalu menjadi alasan untuk berduka. Karena sesungguhnya bahagia tidak bisa hadir tanpa duka. Sebab dukalah yang membuat kita mengerti apa itu bahagia.
Seperti saat ini! Seorang sahabat telah berhasil membuat amarah dan benciku pergi bersama sang surya ke belahan dunia sana. Sedangkan rindu yang terus memburu tanpa temu berakhir dengan kehidupan dunia yang menyambut gulita dengan cahaya lampu kota. Menunggu kehadiran insan langit yang indah nan bercahaya dan mengharapkan adanya sebuah rasi. Sungguh suasana ini lebih dari cukup untuk mengobati hati.
“Terima kasih banyak! Azrinea Lathifa” gumamku tanpa berharap bahwa Azrin akan mendengarnya.
Aku bergerak mendekati salah satu jendela berukuran 50x200cm. letak apartemen yang strategis dengan posisi mushola yang berada di lantai teratas menyebabkan pemandangan di luar sangat jelas. Membuatku mampu menatap setiap sudut kota yang tampak indah dengan lampu-lampu yang menyala.
“Maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan?” Aku tersentak mendapati Azrin sedang memandang langit di sampingku. Padahal baru saja ia sibuk membereskan mukenanya.
“Ya Allah, indah sekali kan Sha?” ia membuka pembicaraan.
“Hm-m aku suka!” ku ikuti pandangannya yang terpusat pada rembulan. “Ku rasa bulannya tampak lebih besar kan?”
Ia tersenyum “Allah memang saaaaangat luar biasa, ya kan?” retorisnya.
“Iya” aku mengangguk meski ia tak melihatnya. “Omong-omong sekarang aku menikmati indahnya purnama, tapi tidak bisa menjamin jika esok hari dapat menikmatinya lagi. Segala hal di Dunia ini ada tenggat waktunya kan?” murung seketika “ ya termasuk kebahagiaan!” aku membuang nafas berat serta menunduk.
Ia menatapku penuh selidik “Di Dunia ini memang tidak ada hal yang abadi. Keindahan, kebahagiaan, kesedihan, semuanya fana!” terdengar helaan diikuti hembusan kasar. “Namun jika hari ini kamu bahagia dan bersedih dihari berikutnya, maka setidaknya kamu memiliki kenangan sekarang sebagai saat-saat bahagiamu! Syukuri itu Sha!” ia tersenyum “Satu hal yang perlu kita tahu, bahwa kebahagiaan ditentukan oleh diri kita sendiri” petuahnya.
Glek! Aku menelan ludah. “Eum, by the way kapan kita ke rooftop lagi Rin?” mengganti topik pembicaraan.
Ia yang tahu tabiatku hanya menatap datar dan berkata “kebiasaanmu itu loh Sha” protesnya. Begitulah aku, selalu menghindari wejangan sang sahabat.
“Ayolah Rin, aku sudah tidak sabar” rengekku menggoyang-goyangkan lengannya.