Awan bergelayut beriring di langit lepas, sesekali senja bersipu malu meninggalkan tempat edarnya. Suara adzan berkumandang memecah keheningan, rasa nyaman tentram mendesir perlahan dalam jiwa, jiwa yang selalu haus akan kasih-Nya
Setelah berjamaah salat ashar, satu pinta dalam bait-bait doaku semoga Kak Rendy adalah jodoh yang dipilikan Allah untukku, meskipun aku baru merenda kasih bersamanya, aku tidak ingin kecewa untuk kedua kalinya. Selama ini aku memang menghindari pacaran, meskipun dulu pernah sekali merasakan jatuh cinta pada orang yang salah. Aku sangat menjaga diri untuk tidak merusak kepercayaan kedua orang tuaku dan selalu menjaga amanat itu dengan baik. Selalu kuingat nasihat beliau.
"Nduk menjadi seorang wanita itu harus kuat dan bisa menjaga diri karena selalu menjadi sasaran fitnah dunia, jika masih gadis ia harus bisa menjaga kehormatan kedua orang tua terutama ayahnya dan bila sudah berstatus istri maka suami adalah pakaiannya jadi di mana ia berbijak wanita membawa beban berat yang harus ia pikul setiap saat. Laki-laki pun sama, memiliki tanggung jawab yang sangat besar, seorang laki-laki tidak akan bisa masuk surga sebelum mampu menjaga 3 wanita dalam hidupnya, ibu yang melahirkannya, istri, dan anak perempuannya. Menjaga dalam hal agama, jika seorang anak perempuan ke luar rumah tanpa menutup aurat maka semakin dekat pula ayahnya memasuki pintu neraka."
"Ayo Kayla keburu malam nanti ibu kamu khawatir! apalagi pacarmu Rendy tadi bilang nitip kamu ke aku kan!" rengek Faza yang berhasil membuyarkan lamunanku. Begitulah Kak Rendy seperti radar yang selalu mengikuti keberadaanku jika sedang tak bersamanya, dia tidak akan segan-segan menelpon siapa pun orang yang sedang bersamaku.
"Iya, ayo pulang, dasar cerewet," jawabku dengan santai sambil membereskan mukena lalu menaruh di tempat semula. Baru saja aku mengikat tali sepatu kananku tiba-tiba sebuah suara menyapa, seketika perasaanku berdesir karena mengenali suara itu. Suara yang masih sering kurindukan selama tiga tahun terakhir.
Deg deg deg... Jantungku berpacu cepat, suara itu terdengar sangat nyata, aku tidak berani mengangkat kepala. Pandanganku tertuju pada sepasang sport sepatu putih tepat di depanku.
"Hallo Kayla, apa kabar?" Suara itu kembali memecah lamunanku. Kepalaku masih tertunduk kaku, memainkan tali sepatu yang memang sudah rapi untuk mengulur waktu agar segera tersadar dari halusinasi.
"Kayla, kamu ini ya dari tadi ngikat sepatu nggak kelar-kelar sih! Suara kesal Faza menyadarkanku meskipun hanya kuanggap angin lalu.
"Bismillah!" kuucap dalam hati sambil mereda detak jantungku yang memberotak, aku bahkan bisa mendengar detak keras jantungku sendiri atau mungkin saja Faza dan laki-laki di depanku juga mendengarnya aku tak peduli, jika benar laki-laki itu adalah Kak Gibran maka menghilang menjadi pilihan terbaik saat ini.
Kuangkat kepalaku perlahan sembari mencubit lenganku sendiri, "au," lirihku saat netra kami bertemu. Dia nyata, laki-laki di depanku adalah Kak Gibran, laki-laki yang mengajarkanku tentang rasa cinta dan kecewa secara bersamaan.
"Kay siapa cowok ganteng ini?" bisik Faza sambil mencubit lenganku yang masih membeku, seketika dunia yang kupijak seolah terhenti berputar.
Aku berdeham untuk membunuh kebekuan sekaligus rasa canggungku. Kulirik Faza yang sedang terpesona dengan rupa elok Kak Gibran, sama persis sepertiku ketika pertama kali berkenalan dengannya dulu, tidak bisa kupingkiri seolah ada magnet kuat yang menghisapku masuk ke dalam pesonanya. Siapan pun yang melihatnya pasti bisa menebak dia bukan asli orang Jawa Timuran, kulitnya putih bersih, hidung bangir, wajah baby face, serta senyum ramah yang selalu ia berikan keada orang yang dikenalnya.
Aku segera memutus kontak mata kami lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku takut kalah dan terjebak kembali dalam cintanya karena kini ada hati yang harus aku jaga.
"Lama nggak bertemu, kamu sekarang terlihat lebih dewasa dan cantik!" pujinya yang seketika membuat wajahku merona.
"Makasih Kak, kakak gimana kabarnya?" Balasku tanpa berani memandang wajahnya.
"Alhamdulillah baik," balasku kembali dengan singkat sembari memberanikan diri menatapnya.