Hati yang kuat pun punya hak untuk melemah dan merasa lelah. Sekencang apapun aku berlari tetep saja sejalan dengan takdir yang sudah tergaris pasti di telapak tangan. Seberapa besar cinta pun tak akan berarti kalau tak berjodoh. Sakit memang, karena cinta yang pernah kudamba ternyata cinta yang kupinjam dari kakakku sendiri.
Deg.
Jantungku berdegup kencang saat beberapa kali netraku dan kak Gibran bertemu, jelas sekali rindu itu masih tersirat untukku. Dia pun sama terkejutnya seperti diriku, kuedarkan pandangan ke sudut lain agar tak sampai Kak Lyla atau yang lain curiga, aku berusaha setenang mungkin saat beberapa kali Kak Gibran mengukir senyuman, entah untukku atau Kak Lyla aku tidak peduli. Aku bingung dengan desakan rasa yang menguar dan tak bisa kuidentifikasi ini. Kulirik Kak Lyla yang terlihat gugup dengan sesekali tersipu malu saat dua keluarga membicarakannya.
"Please Kayla jangan sekarang!" lirihku dalam hati saat bendungan air mata yang tertahan hampir lolos di pipi.
"Kak, aku ke kamar mandi sebentar, lagi kebelet nih," bisikku seraya melepaskan genggaman tangan kakak sambil menahan sesak di dada.
"Iya Dek, cepetan balik ya?" jawab Kak Lyla dengan tersenyum menatapku yang hanya aku jawab dengan anggukan kepala karena sudah tidak sanggup berkata-kata lagi.
Bukannya ke kamar mandi aku malah berlari ke arah teras belakang rumah, satu-satunya tempat sepi, aku menangis sejadi-jadinya sembari meremas dadaku yang terasa begitu nyeri. Untuk berpisah dengannya aku sanggup meskipun harus tertatih-tatih, tetapi untuk menjadi saudara dan tinggal satu atap dengan laki-laki yang masih kucintai tersebut aku tidak akan pernah sanggup. Sungguh aku tidak akan mampu. Bagaimana jika cinta yang masih masih bersemayam dalam hati ini memenangkan egonya? Lalu bagaimana jika dia menyambutnya?
Entah berapa lama aku menangis hingga kurasakan air mata terasa mengering di pipiku. Kupandangi beberapa tanaman hias kesayangan ibu, mencoba mengacuhkan perasaan salah ini. Namun tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pundakku dengan lembut lalu membelainya. Aku terperanjat dari tempat dudukku dan segera menyeka sisa buliran kristal yang mulai meluncur kembali.
"Kenapa Sayang? Kamu kok sedih padahal ini kan hari bahagia kakak kamu? Harusnya kan kamu bahagia." Dengan tatapan penuh tanya Kak Rendy mendekat lalu memelukku. Perlahan kedua tanganku terangkat dan melingkari tubuhnya demi mencari ketenangan. Bahu inilah yang selama ini menjadi tempatku bersandar dan mencari ketenangan atas gemuruh rasa di hatiku.
Aku kalah.
Dan kembali pertahananku jebol. Kuluapkan segala rasa laraku dalam pelukan Kak Rendy.