Namida terjaga ketika telinganya menangkap suara tangisan bayi. Tubuhnya yang sejatinya masih lemas, terlonjak, membuatnya melompat dari ranjang. Kakinya menapak lantai dan langsung oyong. Bergedebuk ke lantai.
Dia berusaha merangkak menuju pintu kamar berdinding kayu tersebut. Bagian bawah perutnya masih terasa perih. Mengabaikan kesakitannya, Namida berhasil menggapai pintu.
Suara tangisan bayi semakin keras,
"Rawa ... Rawa, kamu kenapa, Nak?" Dengan susah payah, Namida berusaha bangun dan beringsut keluar dari kamar. Namun, matanya berubah tajam ketika melihat seorang lelaki tengah menggendong bayi mungilnya.
"Siapa kau?" Namida membentak keras. Berpegangan pada dinding, dia berusaha untuk berdiri.
Yang ditanya membalikkan badan. Seorang pria dengan kulit sawo matang, badan tegap berisi, dengan wajah gagah khas Indonesia, menatap Namida.
"Akh, sudah sadar kamu rupanya. Bayimu mungkin haus. Aku sudah bantu memotong tali pusarnya. Ini .... " Lelaki itu menyerahkan Rawa ke tangan Namida, "Susui dia!".
Namida memandang curiga. Begitu dingin wajah lelaki di depannya itu. Tiada senyum, bahkan matanya menyiratkan sejuta luka. Tiada harapan, tiada asa yang terbaca di sana.
"Kau siapa?" Namida kembali bertanya ketus sambil menerima Rawa. Dengan hati-hati dia kembali duduk di lantai.
"Aku Guntur. Pemilik rumah ini." Lelaki itu menjawab sambil beranjak ke dalam kamar. Dia mengambil kain panjang, kemudian keluar menemui Namida. "Pakai ini, tutupi tubuhmu kalau mau menyusuinya."
Namida menerima kain tersebut, dia menutupi Rawa dan dadanya dengan kain itu. Tangisan Rawa yang tadi memenuhi seisi rumah, berganti dengan gumaman halus ketika mulutnya mulai menyusu.
"Terimakasih telah menolongku." Namida berbicara sambil berusaha melakukan kontak mata dengan Guntur. Guntur membalasnya dengan anggukan dan membuang muka. "Kau tinggal sendiri di sini?" Namida melontarkan pertanyaan. Ini pertama kalinya dia menyusui seorang bayi, ada sensasi aneh yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Badannya terasa hangat, degup jantung lebih tenang. Seolah-olah Rawa melakukan sesuatu pada tubuhnya.
"Iya." Guntur menatap keadaan di luar yang mulai rembang petang. Hujan masih turun walau tidak begitu deras. "Kamu tidak perlu cemas. Tinggallah lebih lama. Takkan ada yang melarang."
"Aku tidak cemas. Tak ada yang perlu kukhawatirkan. Aku hanya punya dua pilihan, hidup atau mati." Namida mengelus lembut wajah Rawa. Anaknya itu begitu tampan. Wajahnya walau masih akan berubah-ubah, Namida sangat yakin, ketampanan Rawa tidak akan kalah dengan Suryana. Mengenang nama itu, kembali amarah menggelegak di dalam hati Namida.
"Kamu benar. Apalagi untuk orang seperti kita. Punya pilihan apa selain bertahan hidup dengan segala cara atau putus asa dengan mengakhirinya di ujung pisau?" Guntur mendecih. Hawa dingin dari luar menyergap. Berusaha merasuki pori-pori kulit di tubuhnya. "Kamu lapar?"
Namida menggigit bibir. Sejatinya, rasa lapar memang sedang menggerogotinya. Selain itu dia butuh mandi. Lelaki itu sepertinya tidak berusaha mencoba menggantikan bajunya yang kini masih lembab di badan. "Apa kau punya baju ganti?"
Guntur menoleh. Wajahnya masih datar, "Ada peninggalan isteriku di dalam lemari. Ambil saja. Maaf, aku tidak berani menyentuhmu. Jadi aku tidak menggantikan pakaianmu."
"Kenapa?" Namida perlahan-lahan meletakkan tubuh Rawa yang sudah tertidur pulas di lantai beralaskan kain. Anaknya itu benar-benar tanpa pakaian sama sekali. Hanya dibalut dengan kain panjang.
"Apanya?"
"Kenapa kau mau menolongku?" Namida perlahan berdiri. Mendekati Guntur yang masih berdiri di dekat jendela. Merasakan desauan angin senja yang terasa dingin.
"Kamu datang ke rumah burukku. Bagiku, mungkin ini anugerah setelah bertahun-tahun tidak ada yang mau singgah ke sini. Apalagi kamu membawa seorang bayi mungil. Rasanya, aku tak punya kekuatan untuk menolak kehadiranmu." Guntur menutup jendela ketika matahari benar-benar lenyap dari peredaran. Menekan saklar lampu.