Mentari menyapa malu-malu melalui celah dinding papan. Namida menangkap bau harum melalui penciumannya. Bau masakan yang begitu kuat. Dengan perlahan-lahan dia bangkit dari ranjang kayu. Menimbulkan bunyi derit ketika tubuhnya bergerak.
Si kecil Rawa masih terlelap setelah puas menyusu. Mengecup dahi Rawa penuh sayang sebelum akhirnya Namida keluar dari kamar. Berjalan pelan menuju dapur di mana aroma harum menguar.
"Hei, sudah bangun?" Guntur menyapa Namida sambil menaruh sendok di dalam piring. Namida tersenyum. Wajahnya memerah mengingat apa yang terjadi semalam. Begitu mudahnya Namida menawarkan diri untuk melayani kesepian lelaki gagah di depannya ini. Walau tidak sampai bersetubuh, tapi apa yang ia lakukan, sedikit banyaknya menyisakan malu di hati.
"Masak apa?" Namida berusaha membuang pikiran anehnya. Mendekati Guntur dan melongok ke dalam kuali.
"Aku bikin opor ayam. Kamu pasti suka." Guntur tersenyum. Tangannya memeluk pinggang Namida lembut. Sedikit jengah, Namida mencoba menjaga jarak. "Kenapa?" Guntur bertanya heran. Namida merunduk.
"Aku malu. Kamu pasti sudah berpikir aku ini perempuan murahan, bukan?" Dia memainkan ujung bajunya. Rasa malu begitu besar di dalam hatinya. Guntur membelai lengannya.
"Bisa kita tidak membahas apa yang terjadi semalam?" Mata mereka saling bersitatap. "Ini masih pagi. Awali dengan senyuman manis. Kamu jangan banyak pikiran. Bisa?"
Namida tersenyum tipis. Bersyukur Guntur tidak membahas kejadian memalukan yang terjadi kemarin malam.
"Baiklah. Aku tidak akan membahasnya. Aku ingin mandi. Kalau Rawa bangun, apa kamu bisa membantuku untuk menemaninya barang sejenak?"
Guntur menjawabnya dengan anggukan. Tersenyum tulus lalu mencium kening Namida. Perempuan itu merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
"Mandilah! Sehabis ini aku akan ke kota. Tinggallah di sini." Guntur meminta dengan setengah berbisik.
"Ada apa di kota?" Walau bukan urusannya, Namida tetap bertanya. Ada kecemasan jika Guntur tidak kembali lagi ke rumah.
"Ada urusan. Aku pulang sore. Selama itu, semua kebutuhanmu sudah kusiapkan. Makanan pun tersedia. Kamu hanya perlu istirahat yang cukup." Guntur tersenyum.
"Baiklah, aku mandi dulu." Namida meninggalkan Guntur yang sibuk memasukkan masakannya ke dalam mangkok. Dia berjalan sambil berpikir keras, dari kemarin malam, Guntur menyajikan makanan yang terlihat mewah untuk ukuran orang miskin sepertinya. Apalagi kalau melihat potongan badannya yang macho dan jantan. Mungkinkah Guntur sedang bersembunyi di kawasan ini? Seakan-akan dia ingin menghilang dari keramaian.
Rumah ini hanyalah terbuat dari papan. Dari warna kayunya terasa sekali kalau rumah ini sudah lama dibangun. Dan Namida merasa hanya ini satu-satunya bangunan yang berdiri di kedalaman hutan ini.
Dengan hati-hati Namida mendorong pintu kamar mandi. Kamar mandi ini ternyata mendapatkan pasokan langsung dari sebuah bambu yang dialiri air sungai. Dengan jemarinya, Namida menekan ke bawah sedikit dinding yang terbuat dari anyaman bambu, sehingga membuat celah untuk bisa mengintip ke luar.
Hmm, sebuah sungai. Pantas aku merasa ada bunyi air mengalir. Bagus sekali sungainya. Bebatuan dengan air yang sedikit keruh karena hujan semalam.
Namida kembali fokus untuk membersihkan tubuhnya. Mengalirkan air ke sekujur badan, berharap noda-noda dosa ikut terkikis bersama luruhnya si air mata. Bagaimana kejamnya kehidupan telah merampas kebahagiaannya. Namida menangis terisak-isak. Sampai kapan pun, hatinya telah ditumbuhi semacam tanaman beracun. Dia sungguh tidak rela menanggung hidup dengan rasa malu yang membunuh. Satu per satu wajah orang yang dulu begitu dicintainya berkelebat di pikirannya.
Namida memejamkan mata, berusaha mengenang kembali api asmara yang telah membakar cintanya sedemikian parah. Membuatnya terluka dengan borok busuk menyengat jiwa.