Tak ada kegiatan penting yang bisa aku lakukan selain memerhatikan setetes demi setetes air hujan yang jatuh di permukaan kaca jendela restoran yang Om Dirga pilih untuk tempat makan malam kami hari ini. Alunan musik yang terdengar menenangkan ini semakin membuat perasaanku campur aduk. Aku jadi mengingat sesuatu.... Sesuatu yang mengawali hari-hari sepiku selama ini.
15 tahun yang lalu.
Aku bergeming di dalam sebuah mobil van berwarna putih yang melaju sedikit kencang membelah jalanan tengah hari yang mendung itu. Seorang wanita di sampingku merangkul tubuhku begitu erat dengan tubuh yang sedikit bergemetar karena isak tangisnya sendiri. Wajah wanita itu– yang biasa aku panggil onty Fanny, tak secerah yang biasanya aku temukan. Matanya bengkak dan memerah karena air mata yang terus turun deras sejak kemarin malam.
Sedangkan ayah... Matanya tak lepas dari satu wanita yang tengah berada di hadapannya. Sesekali tangannya mengelus lembut tangan wanita itu dari balik kain putih yang membungkus penuh tubuhnya.
Orang-orang bilang kalau hari itu adalah hari pemakaman Ibu. Ya, Ibuku.
Saat itu usiaku masih belum genap 5 tahun. Banyak soal yang memutar di kepalaku.
Kenapa semua orang menangis?
Kenapa Ibu berpakaian seperti ini?
Kenapa Ibu tidak membuka mata sejak kemarin aku menjumpainya di rumah sakit?
Apa itu pemakaman?
Dan ketika mobil ambulan mematikan mesinnya, segera orang dari luar membukakan pintu belakang. Aku dan onty Fanny keluar dari ambulan. Ayah dan beberapa orang yang lain kembali membopong Ibu yang masih saja tertidur. Ibu memang suka tidur, tapi tak biasanya selama itu. Pikirku saat itu.
Aku dan onty Fanny mengikuti ke mana ayah dan orang-orang itu membawa Ibu. Hingga sampai pada sebuah lubang cukup dalam dan panjang, aku semakin kebingungan.
Pak ustaz yang mengajariku mengaji setiap sore juga ada di sini, bahkan sejak semalam juga. Dia mengatakan sesuatu yang panjang dan tak bisa aku mengerti. Semua orang di sini semakin melepaskan tangisannya. Beberapa dari mereka juga memeluk tubuh kecilku dan menciumi pipiku berkali-kali.
Dan ketika saat itu..... Aku yang sejak kemarin terdiam, mulai menyadari sesuatu.
"Lho, Ibu! Kenapa Ibu dimasukin ke sana!?" Teriakku seketika melihat orang-orang berusaha menurunkan Ibu ke dalam liang lahat yang begitu dalam.
Seorang memeluk dan menahan tubuhku yang berusaha memeluk Ibu yang masih tertidur.
"Bu!! Ibu bangun! Ibu mau dimasukin ke sumur, Bu! Jahat kalian semua! Ayah!! Jangaaan!!!"
Kenapa semua jahat memasukkan ibu sendirian di dalam tanah sedalam itu? Bahkan ibu tak diberi ruang bernapas dan melepaskan diri.