Rahasia Elf

Yan Arya
Chapter #2

Thames

"Hidup itu indah, ya kan, Franky?" kata Thomas pada kudanya. Franky adalah kuda putih Irish Draught, peranakan yang sama dengan sepasang kuda yang menarik kereta Ratu. Langkah kaki Franky berderap di jalanan cobblestone Thames Embankment. "Tapi kita tak bisa bicara itu pada setiap orang."

Thomas menunduk pada telinga Franky dan berbisik seakan takut terdengar. "Apalagi pada elf."

Thames Embankment adalah tanggul yang dibangun sepanjang sungai Thames untuk mencegah sungai meluap ke London bagian utara. Sepanjang tanggul yang berkabut, tegak lampu-lampu gas yang redup.

Juga pohon-pohon maple yang memayungi sungai dari cahaya bulan purnama. Para bangsawan menanam bibit-bibitnya di hari kelahiran. Daun-daunnya yang bercuping lima dan berwarna merah berguguran di atas permukaan sungai yang hitam dan bau, dan musim panas memperburuknya.

Dahulu Sungai Thames pernah berwarna biru dan harum. Para Orinian percaya bahwa sungai ini berasal dari air mata Dewi Orin ketika kehilangan anaknya. Itu dulu sebelum para Elf membuang sampah dan kotoran ke sungai dan menggunakannya untuk mandi dan minum. Bahkan Thomas pernah mendengar, karena tak mampu membayar pemakaman, mereka menenggelamkan jenazah ke sungai.

Dengan panjang lebih dari tiga ratus kilometer dan lebar hampir dua puluh meter, Sungai Thames membelah London menjadi dua bagian. Di selatan Thames, di seberang sana, tinggal para Elf. Di gang-gang gelap seperti labirin. Labirin kemiskinan. Setiap memandangnya dari seberang sungai, pertanyaan memualkan itu selalu terlintas, bagaimana rasanya tinggal di sana?

Para elf yang tak bisa berhenti beranak pinak hidup berhimpitan bersama dengan berbagai penyakit. Untungnya satu dari lima mereka mati selagi bayi. Karena campak, cacar, tifus, kolera, dan demam elf. Orang-orang mengatakan nasib mereka akibat kemalasan dan dosa.

"Kalau kau bisa bicara, aku yakin kau akan setuju kata-kataku tadi,” lanjutnya pada Franky. “Tapi beruntung kau tak bisa. Kalau bisa, kau akan bicara ke semua orang kemana saja kita pernah pergi." Thomas tertawa sendiri.

Aku tak seharusnya berada lama-lama di ruang tamu Rumah Elf yang penuh dengan asap opium, keluh Thomas.

Thomas mendengar tawa lain dari ingatannya. Ingatan itu terasa seperti seratus tahun lalu tapi juga terasa seperti baru kemarin. Asing tapi juga terasa intim. Persis di jalan ini, Thomas kecil berlari mengejar-ngejar kereta gandum. Roda kayunya yang besar berderak-derak di jalan batu bulat yang keras dan tak rata.

Lihat selengkapnya