Nadia membuka pintu kamarnya lebar, tangan penuh dengan buku dan tas laptop belum lagi ransel merah yang bertahan dibelakang punggung dengan erat.
Harum nasi goreng sosis membuat Nadia meletakkan semua barang itu kembali meja kerjanya yang ada di dalam kamar minimalisnya itu. Nadia bergegas menuju dapur dengan ransel yang masih digendongannya itu.
Bi Esih yang tengah menyusun bekal makan siang hanya bisa melonggo melihat tingkah perempuan muda yang tak pernah berubah kalau melihat nasi goreng di meja makan. Nadia langsung menarik mundur kursi yang ada di meja makan, itu tangannya begitu sigap meraih sendok nasi yang ada. Bi Esih lalu meletakkan sendok yang dipegangnya itu seraya mengucapkan kata-kata saktinya.
"Selamat pagi, Nona Muda"
Nadia hanya menganggukkan kepalanya saja, mulutnya sudah penuh dengan nasi goreng yang berebut masuk menuju ke kerongkongannya itu. Merasa tindakannya tak digubris sama sekali oleh Nadia, Bi Esih segera berjalan mendekati Nadia yang tengah menikmati sarapannya itu seraya mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya.
Bi Esih menyodorkan gelas berisi air ke dekat Nadia dan sekali lagi Nadia hanya menganggukkan kepalanya sebagai ganti kata terima kasih.
Huft...
Begitu Bi Esih selesai menghela napas panjang, Nadia pun telah selesai menyapu bersih nasi goreng yang disiapkan oleh Bi Esih.
"Terima kasih dan bye."
Nadia segera bangkit dari tempat duduknya itu dan melesat pergi meninggalkan Bi Esih disana.
***
Alis tebal serta tatapan mata yang tajam itu seakan tak mau pergi dari wajah Seno. Laki-laki tua itu sekarang merasa terintimidasi dengan sorot mata yang memiliki banyak pertanyaan yang tersurat itu.
"Pah"
"Ya, papa sama mama semalam pergi ke luar engga kasih tahu kamu sama Stella."
Seno langsung mengeluarkan pernyataan pertamanya itu walau dia tahu hal itu tak akan membuat anaknya puas dengan kata-katanya itu.
"Pergi kemana?" tanyanya singkat.
Seno mulai memutar otaknya, dia tak mau menceritakan kejadian tadi malam kalau laki-laki dihadapannya itu tahu maka hal itu hanya akan memperuncing masalah yang tak kunjung selesai.
'Bram engga boleh tahu kalau saya antar mamanya ketemuan sama Nadia, saya harus karang cerita'
Tak... Tak... Tak...
Langkah kaki itu berjalan semakin mendekati Seno dan Bram lalu memegang erat lengan laki-laki yang telah ditemani selama lebih dari empat puluh lima tahun itu.
"Papa sama mama kemarin pergi jalan-jalan karena bosan di rumah."
Bram menatap wajah perempuan yang telah melahirkannya itu. Tatapan mata Bram menegaskan kalau dia tak percaya dengan apa diucapkan oleh Diana namun dia tak mau membuat perempuan yang dicintai selain istrinya itu sedih.
"Aku sih engga papa, kalau misalnya Papa sama Mama mau jalan-jalan tapi setidaknya info sama aku atau Stella." pinta Bram kepada kedua orangtuanya itu.
Diana menggelengkan kepalanya tak setuju, "Kami ini sudah besar dan lebih tua dari kamu, Bram. Kamu tidak berhak ikut campur dengan apa yang ingin kami lakukan."
Diana melepaskan genggaman tangannya dari lengan Swno, dia berjalan maju mendekat ke arah Bram.
Bram memijat dahinya, dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar itu.