Kita kembali dulu ke saat-saat api melahap habis rumah Hamidah.
"Hamidah! Di mana kamu, Nak? Hamidaaah! Jawab Ibu! Ya Allah, di mana anakku!?"
Di antara deru api yang kian menggila, Nurhayati mencoba melewati kobaran panas yang menyengat. Matanya yang sedikit rabun, berusaha fokus mengitari area rumah.
Lengkingan bayi terdengar di telinganya sebelah kanan. Harapan pun bergejolak di hatinya. Dalam jutaan do'a yang dia ucapkan, hanya satu keinginanannya agar dikabulkan Tuhan, bisa melihat cucu dan anaknya, walau hanya sekejap saja.
Kaki tua itu melangkah secepat yang ia bisa. Tak peduli kalau beberapa potong bara ia injak, tak peduli kalau ujung bajunya sudah mulai terbakar, tak peduli kalau kayu di langit-langit rumahnya berderik-derik dimakan api, Nurhayati terus bergerak menuju sumber suara.
Selangkah
Dua langkah
Tiga langkah ....
Bummm!
Plafon kayu runtuh. Nurhayati melompat mencoba menghindar. Namun, apa daya tubuh tuanya tak mampu bergerak sigap.
Batang kayu sebesar paha manusia dewasa menghimpit kakinya. Raungan Nurhayati menyayat hati.
"Ya Allah! Tolooong!"
Ia berteriak, memohon ada yang mendengar jeritan kesakitannya. Panasnya bara api membakar daging betisnya. Bajunya pub terbakar dengan cepat. Tangan tuanya kalang-kabut memadamkan api di badannya.
Dalam keremangan matanya yang rabun, hanya sejarak sepuluh jengkal, ia melihat Hamidah tergeletak. Sementara lengkingan bayi terdengar begitu memilukan.
"Cucuku ..., Hamidaaah! Wahai anakku malang. Ini ibu ... bangunlah, Nak! Selamatkan anakmu!" Rintihan dan harapan seakan-akan memenuhi ruang jiwa perempuan tua itu. Ada kemarahan yang ia dendangkan atas cobaan yang diberikan Tuhan.
"Haruskah aku mati dalam keadaan berburuk sangka kepada Engkau, Ya Allah? Begitu berat cobaan yang Engkau berikan. Aku mohon, Ya Allah, berikan sedikit keajaiban untuk tubuh tua ini. Selamatkan anak dan cucuku, Ya Allah."
Walau kayu yang terbakar itu mulai mengoyak-ngoyak dagingnya, Nurhayati menarik kakinya sekuat tenaga. Sakit, perih, dan pedih berusaha dia tahan.
Dia terus bergerak sampai akhirnya daging di kakinya benar-benar terkelupas. Tulang tungkainya terlihat jelas. Namun, ia tidak peduli. Dia terus merayap mendekati Hamidah.
"Hamidah ... bangun, Nak! Bangun ...." Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, dia tepuk-tepuk lembut pipi Hamidah.
Mata lelah itu perlahan terbuka, "Ibu ...."
Lemah dan seakan -akan tak mampu Hamidah menggerakkan bibir. Lidahnya terasa kaku, tenggorokannya kering dan pedih.