Sore itu, cuaca tidak secerah senyuman Sanira. Dia sedang asyik bermanja-manja di pelukan Waluyo.
"Mas, apa kamu telah menyiapkan nama untuk anak kita?" Sanira mengelus lembut dada telanjang Waluyo yang berkeringat. Mereka baru saja menerjang badai asmara yang penuh gairah.
"Bukankah pamali, Sayang, kalau memberi nama anak sebelum ia lahir?" Waluyo mengembuskan asap rokok ke udara. Sembari jemari tangan kirinya mengusap rambut hitam istrinya itu.
"Aku tidak percaya dengan segala macam pamali, Mas. Siapkanlah satu nama. Hasil USG sudah menunjukkan kalau bayi kita ini lelaki." Jari-jemari Sanira semakin turun ke bagian perut Waluyo. Lelaki itu memejamkan mata merasakan usapan yang kian ke bawah. Lidahnya mendesis ketika jemari tersebut singgah di bagian pribadinya.
Berahi Waluyo kembali terpancing. Sanira di sampingnya terkikik.
"Kamu nakal, Sayang." Waluyo menaruh rokok yang tinggal separuh di asbak. Dia memeluk Sanira erat kemudian mencium bibir perempuan itu penuh nafsu.
Cukup lama mereka saling berciuman. Lalu mata mereka saling bersitatap. Menyatakan jutaan cinta yang tulus.
"Aku sayang kamu, Mas."
Waluyo semakin erat memeluk tubuh Sanira.
Bayangan itu adalah kenangan terindah dan terakhir yang diingat Waluyo. Sekarang hanya batu nisan yang bisa ia pandangi. Perempuan cantik yang telah menjadi istrinya selama empat tahun ini, kini telah pergi untuk selamanya.
Waluyo tidak saja marah pada Tuhan, ia juga marah pada dirinya sendiri yang tidak berada di samping Sanira, di saat-saat istrinya itu meregang nyawa.
"Maafkan aku, Sayang. Andai bisa kuputar kembali waktu yang berlalu, aku tidak akan meninggalkanmu sedetik pun. Aku menyesal. Aku benar-benar menyesal tidak ada di sisimu di saat-saat engkau memerlukan dukungan dan kekuatan dariku. Maafkan suamimu ini, Sayang."
Waluyo memeluk batu nisan Sanira dengan hati yang hancur berkeping-keping. Langit kian kelabu seakan-akan bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh lelaki malang itu. Angin bertiup sendu, dingin dan seakan mencucuk tulang.
"Waluyo."
Isak tangis Waluyo terhenti. Dengan cepat ia seka air matanya dan menoleh ke samping, di mana suara panggilan tersebut bersumber.
Seketika tubuhnya mengejang. Seorang lelaki berdiri menjulang di sampingnya. Kejut Waluyo bukan alang kepalang mendapati siapa lelaki yang baru datang tersebut. Matanya mengitari sekitar. Hanya sunyinya kuburan dan mereka berdua di tempat itu. Sementara kelabunya langit bertindihan dengan senja yang kian merayap menjemput tabir gelap.