Sebagai kepala kampung, Andro merasa gagal karena kasus pembakaran rumah Hamidah. Menyayangkan tindakan warganya yang di luar batas. Dan lebih ia sesalkan lagi pemicu kerusuhan ini adalah adiknya sendiri, Waluyo.
Bahkan hanya dalam hitungan jam, Tuhan langsung memberikan hukuman atas kejahatan Waluyo. Sanira, istri adiknya itu meninggal setelah berjuang sekuat tenaga melahirkan bayi yang ia kandung di rumah sakit.
Dua hari sudah jasad Sanira tertanam di dalam bumi. Di area pemakaman keluarga yang jauh dari pemukiman dan dekat dengan hutan lebat yang jarang dimasuki manusia. Sebuah hutan dengan aura mencekam, dingin dan terasa menyeramkan.
Malam ini, Andro merasa gelisah. Sudah pukul sepuluh malam, Waluyo masih belum pulang. Apakah ia masih di kuburan? Rasanya sudah tidak masuk akal kalau Waluyo enggan meninggalkan pusara Sanira. Apalagi di luar rintik hujan mulai berjatuhan. Membuat suasana hati Andro kian ditekan kecemasan.
"Apa tidak sebaiknya, Mas mencari Waluyo. Aku khawatir terjadi apa-apa sama dia. Kondisi jiwanya pasti masih terpukul itu " Susi, istri Andro sambil menimang bayi Waluyo mendekati suaminya itu, yang duduk resah di teras rumah.
Lelaki itu menghela napas sesaat. Menatap jalan setapak menuju rumahnya yang terlihat suram. Berharap Waluyo akan datang sesegera mungkin.
"Aku juga khawatir, Sayang. Kalau sampai jam dua belas dia tidak muncul aku akan cari dia sampai ketemu. Perasaanku tidak tenang sama sekali." Andro berdiri dan mendekati Susi. Melongok sejenak ke arah bayi merah yang tertidur dengan pulas.
"Bayi yang malang. Sampai detik ini Waluyo masih belum mau melihat anaknya. Aku khawatir kalau-kalau Waluyo menyalahkan anaknya sendiri atas kematian Sanira."
Susi mengayunkan dengan pelan anak dalam gendongannya. Dia juga ikut merasakan kesedihan yang dirasakan suaminya.
"Mungkin ini karma bagi Waluyo, Mas. Selama ini dia terlalu suka berbuat seenak hatinya. Sekarang, lihatlah, istri yang ia bangga-banggakan itu pergi untuk selamanya. Akh, kalau kuturutkan hati, malas aku mengurusi anak ini. Aku masih ingat bagaimana tajamnya lidah Sanira, Mas."
Andro segera meletakkan jemarinya di bibir istrinya itu, "sudahlah, jangan diungkit lagi. Dia sudah tidak bersama kita. Sekarang, tugas kita membesarkan anak ini. Mungkin ini cara Tuhan memberi kita anak, setelah puluhan tahun kita tidak diberi keturunan."
Susi tersenyum lalu menciumi lembut pipi bayi tersebut.
"Sampai sekarang dia masih belum bernama, Mas."
"Iya, kita tunggu seminggu. Kalau dalam masa itu Waluyo masih belum memberinya nama, biar kita saja yang mencarikan nama yang bagus untuknya."
"Iya, Mas. Semakin cepat, semakin baik. Sekarang, aku ke kamar dulu, ya, Mas. Aku buatin bayi ini susu dulu. Sudah sejaman dia tidur."
Andro mengangguk pelan seraya mencium kening Susi. Dia kembali tenggelam dalam kesunyian. Hujan benar-benar tercurah membasahi bumi.
Nun di rumah sakit, satu hari setelah melahirkan, Hamidah akhirnya siuman dari tidur yang terasa begitu panjang. Hal pertama yang ia ingat adalah kebakaran yang menghancurkan rumahnya.
Hamidah berteriak dan menjerit ketakutan. Dua orang perawat segera menenangkannya. Hamidah tidak terkontrol, dia berusaha melepaskan semua peralatan medis yang terpasang di tubuhnya.
"Ibuuu ... Ibu ... Di mana engkau, Bu? Tolong aku, Bu! Tolong akuuu!" Dia terus meronta-ronta sampai akhirnya salah satu dari perawat itu memanggil dokter. Tidak lama kemudian dokter datang dan langsung menyuntikkan obat penenang ke lengan Hamidah.
Dia kembali tenggelam dalam kefanaan. Menghilang sejenak dari bumi ini. Alam bawah sadarnya terus menjerit-jerit, merapalkan kepanikan dan ketakutan.
Walau lapat-lapat tangisan bayi membuat ketakutan itu perlahan-lahan memudar. Hamidah jatuh lagi ke dalam mimpi.
"Ibu yang malang. Aku tidak bisa bayangkan jika aku ada di posisi dia. Mendengar cerita suaminya, rumahnya terbakar, dan dia melahirkan di rumah tersebut, dikelilingi api yang sangat panas. Sungguh, suatu keajaiban ia bisa selamat."
"Benar. Cuma, aku khawatir sama bayinya."
"Kenapa?"
"Mungkin karena banyak menghirup asap, dia bakalan bermasalah dengan pernapasannya."