"Bu, Arif takut." Arif kecil bersembunyi di belakang ibunya ketika Pak Arfan berdiri di depan mereka dengan wajah merah padam.
"Nunik, keputusan ada di tanganmu. Jadi istriku dan semua utang suamimu lunas. Atau kamu bisa bayar sekarang juga. Enam puluh juta, tunai!" Pak Arfan dengan kumis tebalnya berdiri dengan congkak sambil berkacak pinggang. Di belakangnya dua orang lelaki, yang merupakan centengnya berdiri memeluk tangan.
"Tuan, suamiku baru seminggu dikuburkan. Bagaimana mungkin aku harus menikah denganmu. Apa kata orang? Aku hanya ingin menjaga nama baik kita, Tuan."
Pak Arfan tersenyum sinis. "Oh, jadi kamu butuh waktu? Ingat, Nunik! Aku tak masalah dengan apa pun yang orang pikirkan. Kamu 'kan tahu kalau aku sudah begitu lama menyukaimu. Apalagi dengan meninggalnya Jumadi, Arif jadi tidak punya bapak. Aku siap menjadi bapak yang bisa ia andalkan. Kau 'kan juga tahu, aku memiliki dua orang putra yang hampir sebaya dengan anakmu. Aku yakin, kita akan memiliki keluarga yang sempurna."
Di masa itu, Nunik tidak mempunyai pilihan lain. Pak Arfan, juragan kaya di kampung itu. Selain jadi juragan, dia merupakan Kepala Kampung. Semua tunduk pada perintahnya.
Dua minggu berlalu setelah kematian Jumadi, ayahnya Arif, pesta meriah pun digelar. Semua penghuni kampung keluar dari rumah masing-masing. Semua bergembira dan bersuka cita.
Kecuali Arif.
Dia memilih mengurung diri di dalam kamar. Menangis terisak-isak. Ingat ayahnya yang baik hati. Ayah yang menjadi idolanya. Ayah yang menjadikan ia raja di hatinya. Namun, tanpa diduga, ayahnya tiba-tiba saja tewas ketika sedang mandi di sungai. Seekor buaya menggigit dan hampir saja menelannya hidup-hidup. Begitu kabar yang ia dengar.
Orang menemukan Jumadi terkutung-kutung. Badannya hancur dan wajahnya rusak. Tidak bisa dikenali sama sekali.
Arif tidak percaya ayahnya mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Tidak percaya juga kalau jasad malang itu adalah Jumadi. Berhari-hari ia berharap, menunggu ayahnya pulang. Namun, waktu berjalan, ayah yang ia sayang tak kunjung datang.
Dan malam itu, ia tenggelam dalam kesedihan, menyaksikan ibunya bersanding dengan laki-laki yang sering menghardik ayahnya. Arif tidak suka sama sekali dengan Pak Arfan. Lelaki itu tidak memiliki hati yang baik. Bagaimana nanti jika Arif tinggal sama Pak Arfan, akankah dia bisa menyayangi lelaki yang terlihat jahat itu?
Apa yang Arif khawatirkan menjadi kenyataan. Di hari pertama ia menginjakkan kaki di rumah Pak Arfan, lelaki itu menempatkannya di kamar pembantu. Sekamar dengan Bik Atun.
"Kau tidak boleh memanggil ibumu lagi dengan panggilan Ibu. Kau panggil dia sekarang Nyonya. Dan aku Tuan! Kau paham, setan kecil?" Mata merah Pak Arfan mendelik. Arif kecil ketakutan dan mencoba meminta perlindungan sama bunda tercinta. Nunik pun protes, tapi yang ia dapat adalah sebuah tamparan yang cukup keras. Nunik merasakan pipinya panas dan sakit. Arif menangis melihat ibunya ditampar.
"Tuan ... Tuan sudah berjanji untuk menyayangi Arif dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Kenapa sekarang Tuan ingkar? Apa ... maksud semua ini?" Nunik memegang pipinya. Air mata merembes tanpa bisa ia cegah.
"Suka-suka akulah. Aku yang memiliki kuasa di rumah ini. Kau sudah jadi istriku. Jadi wajib tunduk dan patuh pada kehendakku, Nunik!" Pak Arfan melotot ke arah Arif, Nunik dan Bik Atun.
"Bik Atun! Sekarang, Arif adalah anakmu. Rawat dia dan beri apa yang ia mau. Namun, jangan sekali-kali diperbolehkan ia masuk ke rumah besar. Aku tidak mau berdekatan dengan keturunan Jumadi. Membuatku alergi dan meriang. Sekali saja kudapati ia berada di rumah besar, kau tahu resikonya, Bik Atun?" Pak Arfan menyilangkan tangan di leher. Bik Atun buru-buru menjatuhkan badan.
"Siap, Tuan. Saya akan lakukan apa yang Tuan perintahkan."
Pak Arfan tersenyum puas. "Dan kau Nunik, saatnya memuaskan suami barumu ini. Hahaha."
Arif menangis dan hendak menjerit-jerit, tapi tangan Bik Atun langsung membekap mulutnya dan menariknya ke dalam kamar, mengunci pintunya langsung.
"Sabar, Arif. Sabar .... Kamu harus ingat, bukan kamu saja yang ketakutan, Bibik juga. Yang penting, kamu kudu kuat. Dan ikuti semua aturan di rumah ini. Bibik khawatir kalau kamu nakal, ibumu yang jadi pelampiasan Pak Arfan. Kamu tidak mau 'kan ibumu dipukul lagi?"
Arif terisak-isak. Tangisannya begitu menyedihkan hati Bik Atun. Perempuan setengah abad itu memeluk tubuh kecil Arif dan mencoba menenangkannya.
Hari-hari berjalan. Walau ibunya begitu dekat, tapi Arif merasakan mereka berjauhan. Dia benar-benar tidak diizinkan sama sekali oleh Pak Arfan untuk menemui ibunya itu.
Berkali-kali ia mencoba menemui ibunya, tapi berkali-kali juga Bik Atun menggagalkan rencananya tersebut.
"Jangan, Arif. Bibik mohon. Kamu bisa membuat kita berdua terbunuh. Bahkan ibumu pun bisa ia sakiti kalau kita melanggar perintahnya."
"Tapi Arif kangen ibu, Bik. Arif hanya ingin menemui ibu sebentar saja. Arif mohon, Bik. Biarkan Arif pergi menemui ibu."
Namun, Bik Atun tetap memegang tangannya. Mencegahnya dari menemui Nunik. Tarik menarik di antara mereka pun tidak terhindarkan.
"Bik! Ada apa ini?"
Kedua orang itu langsung berhenti tarik-tarikan. Serentak menghadap sumber suara. Seorang remaja lelaki, berusia sekitar 13 tahun menatap mereka heran.
"Oh ... Den Andro. Ini, Den ..., Arif, memaksa untuk masuk ke rumah besar. Ia ingin bertemu ibunya. Nangis-nangis dari kemarin."
Andro memandang Arif dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Kau sudah tak berhak terhadap ibumu, Rif. Dia sudah menjadi ibuku dan Waluyo. Terima saja nasibmu sebagai budak di rumah ini."