Rahasia Keluarga Terlarang

Triboy Mustiqa
Chapter #8

8. Rumah Tua

Arif berlari secepat bayangan setan. Matanya seakan sudah terbiasa dengan kegelapan. Walau hujan masih mendera bumi, ia tetap menderap langkah, menjauhi bangunan tua yang semakin terlihat menyeramkan di kelamnya malam. Rasa benci yang selama ini tersimpan di dalam hatinya, seolah meluap keluar dan memuncak sampai ke ubun-ubun. Andai saja ia tidak menahan diri, Waluyo mungkin sudah menjadi bangkai saat ini.

"Kau bisa bernapas lega untuk sejenak, Waluyo. Jika kuturutkan hati, bisa saja aku menancapkan pisau tajam itu ke jantungmu. Atau mengoyak lehermu sampai putus. Tenang saja. Ini hanya masalah waktu. Bagiku saat ini adalah merebut anaknya Sanira dari Bang Andro. Kalian tidak layak mengasuhnya. Bahkan semua penghuni kampung itu akan aku musnahkan. Tidak ada yang berhati manusia. Semuanya jahanam dan layak mengisi neraka. Ini sumpahku. Tak akan kubiarkan satu pun dari mereka hidup!"

Semakin cepat ia melangkah, semakin kuat debaran jantungnya. Namun, Arif bergegas sembunyi di balik pohon besar, ketika di depannya, tepatnya di area kuburan, terlihat beberapa cahaya senter dan teriakan manusia.

"Waluyo!"

"Di mana kamu, Waluyo?"

Arif mencoba menerka-nerka siapa saja orang-orang tersebut. Ada sepuluh orang. Tersebar di setiap area kuburan.

Hmmm, Bang Andro mencari Waluyo? Bagus! Setdaknya dia mencemaskan adiknya itu. Arif tersenyum sinis. Menunggu dengan hati berdebar.

"Pak Kepala. Kita sudah hampir satu jam di sini. Di bawah derasnya hujan. Kami rasa Waluyo tidak mungkin di kuburan ini. Kalau dia masuk ke hutan, itu juga sangat mustahil. Kita tahu, betapa angkernya hutan ini."

Lapat-lapat Arif mendengar suara seseorang. Matanya mencoba mengenali sosok tersebut. Wedon, lelaki bertampang jelek dan berkulit hitam. Wajahnya jelas terlihat kesal karena harus berjibaku dengan deraan hujan yang menggila.

Di depan Wedon, Andro terlihat semakin gelisah. "Lalu ke mana dia? Tidak mungkin dia hilang begitu saja bak ditelan bumi!"

Wedon menggaruk kepalanya yang basah. "Sudahlah, Pak. Waluyo itu sudah besar. Bisa saja sekarang dia sedang di kota. Mabuk-mabukan dan bercinta dengan pelacur. Bapak tahu sendiri bagaimana kebiasaan dia. Kalau sudah suntuk, tidak jauh-jauh dari perempuan dan minuman keras. Lebih baik kita akhiri saja malam ini. Hujan tidak juga berhenti. Nanti Bapak sakit pula."

Arif sangat tahu kalau Wedon tidak benar-benar peduli. Lelaki buruk rupa itu paling malas kalau disuruh-suruh. Bagi Arif, Wedon juga salah satu target yang harus ia singkirkan. Lalu juga saudara lelaki itu, Woden. Mereka memang tidak kembar identik, tapi jelas kelakuan keduanya sangat menjijikkan.

Dari balik pohon, Arif terus mengamati mereka. Woden, yang tadi dipikirkan Arif, dan tampangnya tak kalah mengerikan dibanding saudaranya, Wedon, mendekati Pak Kepala Kampung.

"Marilah kita sudahi hari ini, Pak. Kita sibuk nyari-nyari dia, tahu-tahunya Si Waluyo sedang berindehoy ria." Dia melempar pandang ke arah Wedon.

Karena memang tidak ada lagi titik terang atas keberadaan Waluyo, Andro memutuskan untuk segera kembali ke rumah.

"Atau begini saja, kau Wedon dan Woden, tetap tinggal di sini! Siapa tahu tiba-tiba saja, Waluyo muncul. Kalian bisa membawanya pulang."

Kejut dua saudara itu tidak terkira, "bagaimana mungkin, Pak? Kami mesti berteduh di mana?"

Andro menatap tajam. Dia meraih sesuatu dari belakang punggungnya.

"Masih sayang nyawa?" Andro menodongkan pistol ke kepala Wedon. Wajah lelaki itu langsung pucat.

"Ampun, Pak!"

Keduanya menjatuhkan diri berlutut.

"Kalian tahu aku tidak suka dibantah! Jika ingin berumur panjang, kerjakan apa yang kuperintah!"

Keduanya menyatukan dahi di tanah yang basah. Andro tersenyum sinis lalu mengajak tujuh orang lainnya untuk beranjak dari tempat tersebut.

"Bangsat! Dia benar-benar ingin membunuh kita, Wedon! Sampai kapan kita akan selalu menjadi anjingnya?"

"Kau benar! Andai dia tidak membawa senjata, ingin aku duel dengannya. Lama-lama si Andro ini kumatikan juga!"

Kedua orang itu mengeluarkan kutuk serapah sambil menendang batu-batu nisan yang ada di kuburan tersebut.

Namun, keduanya dikejutkan oleh suara tepuk tangan. Sontak, mereka berbalik dan menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari balik pohon besar.

Sosok tinggi besar, keluar sambil bertepuk tangan.

Awalnya, Wedon dan Woden menduga itu adalah setan, tapi ketika sosok itu mendekat dan wajahnya terlihat jelas, sontak kedua orang itu terkejut.

"Arif?"

Lihat selengkapnya