Waluyo dan Woden diikat ke tiang yang sama. Saling membelakangi. Kalau Waluyo masih sadar, beda dengan Woden yang masih tidak ada tanda-tanda kehidupan. Waluyo merasa, Woden mungkin sudah menemui ajalnya.
"Bang! Apa gunanya semua ini? Tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Aku sadar, Bang, telah banyak melakukan kesalahan. Tidakkah bisa kau beri aku kesempatan untuk memperbaiki diri?" Denyut luka di telinga Waluyo masih terasa begitu menyakitkan. Dia merasa tubuhnya sangat lemas akibat banyaknya darah yang terbuang. Kerongkongan dan bibirnya terasa kering.
Di depannya, sekitar 10 meter, Arif duduk sambil menyandarkan punggung ke dinding yang lapuk. Telapak tangannya kiri dan kanan digesek-gesekkan untuk menghalau rasa dingin yang menyergap.
Di luar hujan masih mendera. Entah kapan akan berhenti. Seakan-akan hujan berusaha meredam jeritan dan menghapus darah yang tercurah ke bumi.
"Bagaimana rasanya punya ibu, Dik? Apa kau bahagia?" Sembari beringsut ke arah Waluyo, Arif mengabaikan pertanyaan adiknya itu. Seingsut demi seingsut terasa mendebarkan bagi Waluyo. Sungguh, dia sedang tidak ingin menatap mata lelaki yang sering ia rundung tersebut.
Waluyo tidak menjawab. Memilih memejamkan mata ketika wajah Arif kian dekat dengan wajahnya.
"Dulu, aku sangat menginginkan kamu benar-benar menjadi adikku, Waluyo. Namun, pepatah mungkin selalu benar, buah tidak selalu jauh jatuhnya dari pohon. Engkau yang waktu kecil terlihat begitu lincah dan lucu, ketika remaja mendadak berubah. Apalagi ketika bapakmu mendoktrin pikiranmu untuk selalu menghina, menyiksa dan membuatku seolah-olah sampah yang tidak berguna." Arif membelai pipi Waluyo. Degup jantung Waluyo kian bertalu-talu. Setiap saat bisa saja Arif berubah pikiran. Membunuhnya secepat yang ia inginkan.
"Aku ... minta maaf, Bang. Andai ... bisa kuulangi waktu ...."
Ucapan Waluyo terputus ketika tiba-tiba telapak tangan Arif membekap mulutnya. Mata Waluyo melotot takut.
"Tsss ..., sudah, Dik. Jangan bicara lagi. Semua sesal selalu datang terlambat. Tidak perlu lagi kau berandai-andai. Aku hanya ingin tahu, bagaimana rasanya punya ibu?"
Waluyo menundukkan kepala.
"Jawab, Anjing!"
Makian disertai tamparan membuat pipi Waluyo terasa panas. Dia semakin memejamkan mata saking takutnya.
"Apa perlu kucabut lidahmu, Adik?" Nada suara Arif melunak, matanya sayu, tapi tetap saja membuat Waluyo gemetar.