"Ibu kandung? Hahaha." Ketika mendengar ucapan Arif, Waluyo yang tadinya merasa sangat marah, tiba-tiba saja tertawa diiringi tangisan. Dia tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. "Ibu kandung?" lanjutnya lagi, kali ini dengan ekspresi sambil menangis.
Arif menatap dingin. Tangannya terlipat di dada. Dia yakin, sebentar lagi Waluyo akan meledak dalam tangisan yang sangat menyedihkan.
"Kau sudah dengar apa yang kusampaikan, Dik. Apa harus kuulang ribuan kali, kalau jerangkong yang tidak seberapa potong ini adalah ibumu, Martinah!"
Waluyo menggelengkan kepalanya cepat. Tidak percaya dengan apa yang disampaikan kakaknya itu. Namun, matanya kembali tertumbuk ke kepala tengkorak yang bolong ruang matanya menghadap ke arah Waluyo, seakan-akan menatap lelaki itu dari alam kematian.
Mendadak udara dalam ruangan itu kian membeku. Wajah Waluyo berubah dingin, geram, dan terlihat kalau ia sangat marah. "Kau benar-benar jahat, Bang! Menggunakan jasad orang lain untuk menyiksa batinku. Puluhan tahun aku tidak melihat ibuku. Jadi, jangan permainkan aku dengan cara busuk seperti ini. Mungkin, kau berharap aku akan terkejut, mentalku hancur, tapi percayalah, Bang! Aku tidak percaya kalau ini adalah ibuku! Ibuku, di manapun ia berada, sedang apa ia, aku tidak peduli! Bagiku, ia sudah mati begitu kakinya pergi meninggalkan rumah! Lagian, bayanganku tentang ibu tidak ada sama sekali! Lenyap tak berbekas!"
Waluyo tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Arif yang kaku. Dia berhasil membangun kepercayaan dirinya kembali dan menyangka Arif kalah telak.
"Aku sudah menduga kau akan berkata begitu, Dik! Tentu kau tidak akan percaya jika tidak ada bukti. Tenang saja. Ayahmu itu seorang maniak. Lima tahun aku menghilang kau kira aku diam saja merenungi nasib? Hahaha! Kau salah besar!" Arif mendekat, kembali duduk di atas kaki Waluyo. Mata mereka saling menatap. Bara kebencian saling memercik.
"Aku memiliki video pembunuhan yang dilakukan si anjing Arfan! Aku melihat bagaimana ibumu disiksa sedemikian rupa, lalu mayatnya dibuang ke dalam sumur tua. Kau tahu dari siapa aku mendapatkan rekaman video ini?"
Waluyo kembali berkeringat dingin. Dia mencoba menoleh ke arah lirikan mata Arif. Di belakangnya terdengar rintihan kesakitan.
"Anjing, aku ... di mana? Duh, sakit sekali leherku, Bangsat!"
Seseorang baru saja siuman setelah beberapa waktu tidak sadarkan diri.
"Woden?" Waluyo mendesis. Suaranya benar-benar tercekat.
"Benar! Anjing penjagamu ini tahu sekali bagaimana ibumu dibunuh! Hebat sekali, bukan? Bertahun-tahun ia menyimpan rahasia, menjadikan video kematian ibumu sebagai hiburan bersama saudaranya itu. Sayang sekali. Kau terlalu buta, Dik! Kau menganggap ayahmu super hero! Padahal, dialah yang membuatku harus membunuh kalian satu per satu!"
Arif memegang pipi Waluyo. Matanya menggali lebih dalam apa yang dirasakan adiknya itu.
"Siapa?" Woden berteriak keras. "Siapa di belakangku, Bangsat? Lepaskan aku!"
Arif mendekatkan bibirnya ke lubang telinga Waluyo yang tidak berdaun. "Sabarlah, Dik! Kau akan melihat hiburan menyenangkan. Bahkan mungkin menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa kau lupakan." Arif mencium lembut pipi Waluyo lalu berdiri dan mendekat ke arah lelaki si buruk rupa yang mengerang-ngerang kesakitan.