"Ibu begitu baik bagiku, ia selalu menyayangiku sedikitpun tidak pernah merampas tetesan sembilu air mata ini. Betapa penuh kasih sayangnya Ibu, ia rela sampai titikan air mata saat aku yang sedang terluka. Tapi aku tidak tahu sembilu perasaan terkecil hati Ibu yang begitu rapat dan sangat rapinya ia menyembunyikan rahasianya sesuatu dariku,"
Menghela napas dua matanya merona berkaca-kaca menahan kesedihan terkenang akan masa indah dan sedih ketika Mawar bersama Ibunya.
Ia hanya terduduk berselimut hati menggurat kesedihan berkepanjangan, wajahnya hanya perhatikan hijau setiap rerimbunan dedaunan masih lelap dalam tidur ranting bercabang setiap tegaknya pepohonan sepanjang jalan.
Rasa empati terdalam guratan raut wajahnya masih singgah rasa berduka dari wajah tampan Arifin, ia seorang suami yang sangat penyabar dan sungguh mencintai istrinya.
Dua tangan sejak tadi tidak terlepas mengcengkram kemudi setir mobil berjalan diajak keempat roda bannya menggelinding kedepan susuri jalan sepi berteman langit sendu sebentar lagi mengajak rintik hujan.
"Tapi sudahlah Mawar, kini Ibu telah tiada. Ia telah tenang disana bersama langit semesta yang selalu akan jadi tempat Ibu bersemayam selamanya,"
Sekali jemari jemari kirinya mengelus pipi kesedihan Mawar sembari melempar senyuman masih tidak lekang empati pada seorang istri yang sebegitu sangat di cintainya.
Mobil suv hitam terus berjalan susuri jalan tidak tahu kemana ujungnya. Hanya terlihat lekukan jalan seraya ular melingkar berselimut pelataran hamparan hijau perbukitan sebentar lagi akan berselimut kabut gelap.
"Aku sadar walau Ayah sangat keras kepala dan egois dan ia sering menyiksa bahtin Ibu yang selalu membalasnya dengan senyuman. Ibu begitu sangat menghormati dan sayang sekali pada Ayah. Ya, walau aku tahu gimana sikap keras Ayah pada Ibu selalu menguras air mata kesedihannya,"
Kini jemari kanan penuh kehangatan memeluk jemari Arifin sedang mendarat pada tuas kopling transmisi otomatis.
Tersenyum masih membekas kesedihan tergurat pada raut wajah Mawar menatap wajah menyamping suaminya menganggut seraya hatinya tidak akan pernah meninggalkan ia.
"Waktu aku masih kecil, aku masih ingat betul," ucap bibir tipis basah.
Mobil terus berjalan seraya mengajak kesedihan akan masa lalu, lekukan jalan terus di hadapkan dengan indahnya sekitar kiri-kanan rerimbunan pohon berdiri tegak masih beratap langit sendu.
***
Masa Saat Kecil Penuh Kesedihan...
Pelataran rumah begitu sedih bercuruan basah dengan rintik hujan disertai gedoran teriakan langit gelap.
"Gletarr ... Tarr ..."
"Sampeyan kudu ngerti! Aku tresno banget karo kowe, nanging kowe kok kaya ngono?!" {kamu harus mengerti! aku sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu seperti itu?!}
Jelas terdengar kemarahan suara lelaki intoasi suaranya tinggi sekali, seraya masih belum puas menuding memarahi.