Rahasia Lintang

Pejandtan
Chapter #2

Dua Sisi

"Untuk kamar tidur Arkhan, aku usul sih cocoknya pake tema ini aja ya, Bu. Warnanya aku pilih yang netral kayak beige, abu-abu muda, trus aku tambahin warna hijau sage biar adem dan nyaman buat si Arkhan." Lintang menjelaskan dengan suara lembut, sambil menunjuk layar tabletnya dengan stylus.

"Arkhan sih suka banget warna biru, Lin. Apa nggak bisa lebih cerah?" Tanya Bu Ningsih, seorang wanita paruh baya, sambil menyesap kopinya.

"Bisa dong, Bu. Justru itu triknya. Kita bisa masukin warna biru di bagian yang gampang diganti-ganti.” Lintang tersenyum tipis, tenang dan profesional. Ia menggeser layar tabletnya, menampilkan sebuah gambar render 3D.

“Misalnya, di sini, aku desain rak buku dengan aksen biru yang bisa dipindahkan, bantal hiasan ini, atau bahkan lukisan ini . Jadi kamarnya bisa kita tinggal ganti aksen warnanya aja deh, gak perlu ngerombak total."

"Ide yang bagus sekali,” ucap Bu Ningsih, senyumnya sumringah. “Saya nggak kepikiran sampe situ loh, Lintang."

Di sebuah kafe kecil di kawasan BSD, suasana hangat dan akrab menyelimuti mereka. Aroma kopi yang baru diseduh dan croissant hangat memenuhi udara. Cahaya sore yang teduh menyusup masuk melalui jendela besar, menerpa layar tablet Lintang yang menampilkan desain kamar tidur anak yang penuh warna.

Di sekeliling mereka, suara percakapan lembut dari pengunjung lain dan bunyi sendok yang beradu dengan cangkir menambah kehangatan suasana. Lintang merasa tenang, terfokus pada diskusi dengan Bu Ningsih, sementara di luar, hiruk-pikuk jalanan sore terus berlanjut.

Lintang melihat raut wajah Bu Ningsih yang mulai cerah, seolah-olah ide-ide yang dia tawarkan membuka jalan baru bagi sang klien. Dia tahu, momen-momen seperti ini yang membuatnya mencintai pekerjaannya. Setiap pujian yang dia terima, meski terasa manis, juga mengingatkannya pada ekspektasi yang terus membebani.

Setelah pertemuan selesai dan Bu Ningsih pamit dengan wajah puas, Lintang membereskan tablet dan berkasnya. Dia tidak langsung kembali ke kantor. Sebaliknya, dia menyempatkan diri duduk di sana selama beberapa menit, menikmati keheningan dan secangkir matcha yang ia pesan. Pikirannya melayang, jauh dari palet warna dan furnitur, membayangkan dunia lain yang lebih bebas.

Selesai dengan perasaannya yang mulai tenang, Lintang akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia membawa pekerjaan yang tidak hanya dari Bu Ningsih, tetapi juga seabrek tugas lainnya yang belum tuntas, membuatnya harus ekstra fokus. Sambil dia menyusun jadwal pekerjaannya di handphone, dia berjalan melangkah keluar dari kafe, suasana kota yang ramai langsung menyambutnya.

Setelah berjalan menuju tempat mobil terparkir, dia melihat Pak Agung, supir kantornya, menunggunya dengan setia.

“Langsung balik ke kantor aja ya, Pak.” Kata Lintang sambil membuka pintu mobil dan duduk di kursi belakang Pak Agung dengan gerakan lelah.

Pak Agung mengangguk, lalu menyalakan mesin mobil. Dalam perjalanan, Lintang memandangi jalanan yang padat melalui jendela, sementara jemarinya tanpa sadar memilin-milin ujung hijabnya. Pikirannya melayang antara meeting siang dengan Bu Ningsih yang sukses dan seabrek pekerjaan kantor yang belum tersentuh.

Lihat selengkapnya