Rahasia Lintang

Pejandtan
Chapter #4

Mendadak Badai

Keesokan harinya, Lintang memasuki kantor dengan langkah yang terasa lebih ringan. Suasana pagi itu masih sama, namun tiket pesawat di sakunya seolah menjadi jimat yang memberikan aura berbeda. Hari ini, ia merasa lebih hidup. Ia menyapa Shinta dan Rian seperti biasa, tanpa beban, senyum tipis tersungging di bibirnya.

Di mejanya, Lintang membuka laptop. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar ponselnya.

"Group Kantor (1 pesan baru)."

Pesan itu dari Pak Hendra, isinya singkat namun mengena.

"Lintang, segera ke ruang rapat. Ada hal penting yang perlu dibahas." Jantungnya berdebar. Lintang menghela napas, berusaha tetap tenang.

"Ini mungkin hanya formalitas," pikirnya, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa cemas yang samar mulai menyelimuti, seperti awan mendung yang perlahan bergerak mendekat.

Rapat dimulai, dan kekhawatiran Lintang terbukti. Pak Hendra, dengan wajah serius yang jarang Lintang lihat, memperkenalkan mereka pada proyek yang sebenarnya sudah berjalan, yaitu perbaikan masif untuk apartemen milik Mr. Hartono. Klien ini adalah seorang pengusaha yang dikenal sangat menuntut dan perfeksionis, dengan reputasi tidak segan memutus kontrak jika tidak puas.

"Mr. Hartono mengirimkan keluhan serius, Lintang. Ada masalah teknis di lapangan. Dia bilang, jika tidak ada perbaikan besar dalam waktu satu bulan, dia akan memutus kontrak," jelas Pak Hendra, tatapannya penuh harap tertuju pada Lintang.

Lintang merasa tertekan. Proyek ini bukan proyeknya, tetapi karena ia dinilai sebagai desainer terbaik, Pak Hendra memintanya untuk turun tangan.

"Saya tahu kamu punya rencana cuti, Lintang," potong Pak Hendra, seolah membaca pikiran Lintang. "Tapi proyek ini butuh full commitment. Saya harap kamu bisa mempertimbangkannya kembali."

Rian, yang duduk di seberang, tersenyum sinis. Senyum itu, bagi Lintang, terasa seperti ejekan, seolah Rian sudah tahu bahwa ini adalah dilema yang berat baginya. Lintang bisa merasakan sorot mata Rian yang penuh kemenangan, seolah berkata, "Lihat, kan? Hidup itu harus terstruktur."

Setelah rapat selesai, Lintang kembali ke mejanya. Kepalanya pening, berdenyut-denyut seperti dihantam palu. Di satu sisi, ia merasa bangga karena dipercaya menangani proyek sebesar ini. Ini adalah puncak kariernya, sebuah pengakuan atas kemampuannya. Namun, di sisi lain, rencana liburannya sudah ia persiapkan matang-matang. Bali, pantai, dan kebebasan yang ia idam-idamkan selama ini terasa begitu dekat, namun kini terancam.

Rian menghampiri kubikel Lintang, membawa secangkir kopi hangat.

"Nih, buat lo. Gue tahu lo butuh ini," katanya, nadanya sedikit melunak, namun tetap ada jejak sindiran.

"Makasih, Yan," jawab Lintang pelan, meraih cangkir itu. Aroma kopi yang pekat sedikit menenangkan pikirannya.

Lihat selengkapnya