Hari-hari menjelang keberangkatan Lintang ke Bali terasa seperti hitungan mundur yang mendebarkan, setiap detiknya dipenuhi campuran antisipasi dan tekanan. Setiap pagi, ia bangun sebelum alarm berbunyi, dengan semangat baru yang aneh, meskipun tubuhnya seringkali terasa remuk redam karena kurang tidur. Proyek Mr. Hartono telah menyedot hampir seluruh energi, pikiran, dan waktunya. Ia tidak pernah mengeluh, bahkan saat harus lembur hingga larut malam. Lintang bekerja dengan kecepatan luar biasa, bak mesin yang tak mengenal lelah, memastikan setiap detail terkunci dan terselesaikan sebelum ia meninggalkan Jakarta.
Lintang tahu bahwa memenangkan kepercayaan Mr. Hartono adalah kunci. Seminggu sebelum tanggal keberangkatan, ia berhasil menjadwalkan pertemuan krusial dengan sang klien di apartemennya yang sedang direnovasi, sebuah penthouse di kawasan elit Jakarta Selatan. Lintang datang dengan persiapan yang matang: sebuah mood board yang rapi, presentasi digital yang memukau dengan render 3D yang nyaris sempurna, dan senyum profesionalnya yang paling meyakinkan, memancarkan aura kompetensi yang tak terbantahkan. Mr. Hartono, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam dan aura dominan, mengamati setiap detail dengan saksama, menelusuri setiap garis desain dan pemilihan material dengan cermat, seolah mencari celah untuk kritik.
"Jadi, Lintang, Anda yakin bisa menyelesaikan ini semua dalam waktu yang saya berikan?" tanya Mr. Hartono, suaranya berat dan penuh keraguan, sambil menunjuk beberapa area yang masih dalam tahap pengerjaan kasar, tumpukan material konstruksi yang belum terpasang, dan sketsa-sketsa di dinding yang belum final.
Lintang mengangguk mantap, menatap langsung ke mata sang klien tanpa gentar. "Mr. Hartono, saya sudah menyiapkan jadwal yang sangat ketat dan tim yang solid. Semua material primer sudah di lokasi, dan kami bahkan sudah melakukan pre-fabrication untuk beberapa elemen kunci di workshop. Saya jamin, perbaikan besar akan selesai sesuai target. Dan selama saya cuti," Lintang sengaja menekankan kata 'cuti', "saya akan tetap memantau secara online setiap hari. Mandor akan mengirimkan laporan visual secara rutin, dan kita bisa melakukan video call kapan pun Anda inginkan untuk progress report harian atau mingguan."
Mr. Hartono menatap Lintang lekat-lekat, mencoba membaca kejujuran dan keyakinan di balik setiap kata. Ia terkesan. Persiapan Lintang begitu matang, jauh melampaui ekspektasinya yang tinggi. Ada sedikit senyum tipis di bibirnya. "Baiklah, Lintang. Saya pegang janji Anda. Jangan sampai ada kendala sedikit pun. Proyek ini sangat penting bagi saya."
"Tidak akan, Mr. Hartono," jawab Lintang, lega. Beban berat di pundaknya sedikit terangkat. Ia tahu, ia telah memenangkan kepercayaan klien yang paling sulit sekalipun, sebuah kemenangan kecil namun signifikan yang membuktikan kemampuannya.
Kembali ke kantor, Lintang menyelesaikan semua handover proyek dengan sangat detail. Ia menghabiskan berjam-jam bersama Shinta dan tim junior, memastikan mereka memahami setiap detail proyek yang akan mereka tangani selama ia cuti, termasuk kode-kode material, spesifikasi teknis, dan preferensi klien. Ia bahkan membuat panduan visual lengkap untuk setiap tahap pengerjaan. Ia juga memberikan instruksi khusus kepada Rian mengenai proyek Mr. Hartono, meskipun ia tahu Rian akan tetap mengawasinya dengan cermat, bahkan mungkin lebih cermat dari biasanya.
"Lo yakin bisa handle dari jauh, Tang?" tanya Rian, saat Lintang menyerahkan flash disk berisi semua data proyek. Ada nada kekhawatiran yang tulus dalam suaranya, bukan lagi sindiran atau ejekan. Rian tahu betapa kritisnya proyek ini.
"Yakin, Yan. Semua sudah ada di sini, lengkap dengan checklist harian. Kalau ada apa-apa, telepon atau video call aja. Gue akan selalu standby untuk konsultasi," jawab Lintang, tersenyum. Ia melihat perubahan dalam diri Rian. Kekaguman yang tersembunyi itu kini mulai terlihat jelas, bercampur dengan sedikit rasa heran. Rian mungkin tak pernah menduga Lintang akan seberani ini.