Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Quran

Noura Publishing
Chapter #3

Dua Bulan di Pangkuan Al-Quran

Siapa yang tidak mau hafal Al-Quran? Penulis yakin, setiap orang yang mendambakan bahagia dunia dan akhirat sangat menginginkannya karena Al-Quran adalah cita-cita teragung manusia yang sebenarnya. Banyak ayat Al-Quran tentang keutamaan para penghafal Al-Quran, dan banyak hadis Nabi Saw. yang menceritakan fadhîlah-fadhîlah (keutamaan-keutamaan) menghafal Al-Quran, sehingga sejak zaman diturunkannya, telah lahir ribuan hâfizh dan hâfizhah (para penghafal Al-Quran) yang tersebar di berbagai penjuru negeri.

Lembaga-lembaga tahfîzh didirikan dan buku-buku ditulis untuk memberikan motivasi, metode, dan tips untuk menghasilkan hafalan Al-Quran yang baik, dalam rangka mencetak generasi huffâzh yang berkualitas dan tak karam ditelan zaman yang kian suram. Di akhir zaman nanti, keberadaan para penghafal Al-Quran laksana bintang-bintang yang bersinar di tengah kegelapan malam.

Dengan kemudahannya untuk dihafal, Al-Quran mempunyai cara tersendiri untuk menguji keikhlasan para pembaca dan penghafalnya. Di celah-celah ujian itu, setan menyingsingkan “lengan baju” untuk menggoda mereka agar tak mampu bersabar. Peran lembaga tahfîzh terkadang tak lagi mampu membantu mereka, bahkan berbagai macam tips dan metode dalam ratusan buku pun terkadang tak lagi berpengaruh bagi mereka.

Dalam kondisi akut seperti itu, memang tidak salah jika bergantung kepada lembaga, metode, ataupun tips. Namun, alangkah baiknya apabila bergantung kepada Al-Quran itu sendiri, karena Al-Quran adalah lembaga sekaligus metode dan tips. Oleh karenanya, pada bagian muqaddimah ini, penulis akan berbagi pengalaman seputar menghafal Al-Quran; bagaimana langkah-langkah penulis menghadapi godaan-godaan yang tak berhenti menyerang dari awal hingga akhir.

Telah lama penulis ingin menuliskan pengalaman menghafalkan Al-Quran ini, tetapi khawatir berlebihan, sehingga menimbulkan fitnah. Penulis terus menyimpannya dalam hati hingga yakin bahwa akan banyak manfaat apabila ditulis, terhindar dari riya, dan banyak yang meminta.

Keyakinan penulis semakin kuat setelah mengetahui kitab Al-Tahadduts Bi Ni‘matillâh karya Imam Al-Suyûthi (w. 911 H.).1 Dalam kitab tersebut, Al-Suyûthi mencatat prestasi-prestasinya selama berkecimpung di dunia keilmuan. Dia memuji karya-karya tulisnya yang mencapai 600 judul kitab. Maka, dengan memanjatkan syukur kepada-Nya, berikut ini pengalaman penulis:

Setelah menyelesaikan pasaran2 kitab Tafsir Marâh Labîd karya Syaikh Nawawi Banten di Pesantren Raudlatul Muta’allimin Cijambe, Cianjur, Jawa Barat, kedekatan penulis dengan Al-Quran semakin intim. Namun, untuk melangkah ke arah menghafal, rasanya masih sangat kaku, hingga Allah Swt. memberi kesempatan untuk tinggal di kampung Cilaku Hilir, Cianjur, Jawa Barat. Penulis belajar Al-Quran kepada paman penulis bernama H. Achmad Basyir Fachmi, seorang hâfizh Al-Quran yang mahir Qirâ’at.

Setiap kali melihat Mang Haji Basyir membaca Al-Quran dengan bil ghaib,3penulis seperti akan mampu mengkhatamkan Al-Quran, karena beliau tampak begitu mudah melafalkan huruf-hurufnya. Bahkan, penulis sering menyimak bacaan beliau pagi dan petang sampai khatam berkali-kali.

Mang Haji Basyir, suatu ketika, bercerita kepada penulis tentang keajaiban Al-Quran yang begitu mudah dihafal, dan kehebatan para hafiz yang menakjubkan. Di antara mereka, ada yang mengkhatamkan Al-Quran dalam dua tahun, ada yang satu tahun, ada yang tujuh bulan, ada yang enam bulan, dan bahkan ada yang empat bulan. Dia pernah menyebutkan nama salah satunya, yaitu Ustadz H. Asep Ismail, seorang mufassir (penafsir Al-Quran) dari Bandung yang menjadi fenomenal setelah sering menjuarai Musabaqah Tafsir Al-Quran tingkat Jawa Barat. Penulis termotivasi mendengar cerita-cerita itu hingga keyakinan pun semakin kuat.

Semakin hari, keinginan untuk menghafal Al-Quran kian mendalam. Tetapi setiap kali membuka mushaf, penulis selalu ragu, mampukah penulis mengkhatamkan kemudian menjaga Al-Quran dengan baik. Keraguan terus menyusup ke dalam hati. Hingga pada Juni 2002 M, saat matahari tepat di atas bumi, di sebuah mushala kecil, penulis meminta izin kepada Paman agar bersedia menerima setoran Al-Quran, sekaligus memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

Paman tampak senang mendengar permintaan itu. Beliau sangat mendukung, menyambut, dan mendoakan penulis dengan khusyuk. Lalu, beliau menyarankan kepada penulis agar menghafal sebanyak seperempat juz setiap hari hingga bisa khatam dalam empat bulan.

Lalu, dengan tawakal kepada Allah Swt., penulis menerima saran Paman itu, meski dalam hati, belum yakin akan bisa menyetorkan seperempat juz setiap harinya. Perlahan-lahan, hati penulis menjadi tenang, khususnya saat Paman berusaha meyakinkan. “Insya Allah”, kata beliau, penulis akan mampu menyelesaikannya dengan baik, karena menurutnya, penulis sudah berpengalaman menghafal kitab-kitab karangan para ulama.

Memang, sewaktu kecil, sebelum balig, yakni sebelum berumur 15 tahun, penulis pernah berhasil mengkhatamkan hafalan kitab Alfiyah dalam waktu 40 hari, kitab Sullam Munauraq dalam waktu 1 hari, kitab Jauhar Maknûn dalam waktu 2 hari, kitab Nazhm Al-Maqshûd (Yaqûlu) dalam waktu 1 malam, kitab ‘Imrîthi dalam waktu 1 hari, dan Matan Jam’u Al-Jawâmi’ Fî Ushûl Al-Fiqh dalam waktu 7 hari. Bahkan penulis pernah mampu menghafal lima bait Al-Zubad dalam satu menit.

Hafalan penulis apabila disatu-jilidkan sudah setebal Mushaf Al-Quran, bahkan lebih. Penulis pun semakin yakin akan bisa hafal Al-Quran dengan baik, meski tidak akan secepat menghafal kitab. Penulis harus lebih rajin menghafal, menghindari maksiat, dan menambah rakaat.

Tanpa menunggu waktu, siang itu penulis langsung mulai membuka mushaf dengan penuh harap serta niat dan tekad yang kuat. Konsentrasi penulis tertuju kepada Juz ‘Amma (juz 30). Penulis buka halaman pertama Surah Al-Naba’ yang merupakan surah pertama juz itu. Lalu, penulis baca ayat demi ayatnya dengan beberapa kali pengulangan hingga selesai satu surah. Namun, tak penulis duga sebelumnya, setelah ayat terakhir surah itu selesai, ayat-ayat sebelumnya nyaris tidak tergambar seolah-oleh belum dihafal.

Tidak biasanya penulis mengalami hal semacam itu. Penulis terus mengulang-ulangnya hingga tidak dapat menghitung berapa jumlahnya, namun tak kunjung lancar. Selalu ada yang keliru menyambungkan ayat, hingga penulis kelelahan. Penulis berguman; “Ini baru Surah Al-Naba’ sulitnya sudah begini. Bagaimana dengan surah-surah lain di juz-juz berikutnya?!” Sungguh, penulis tidak bisa membayangkannya. Penulis menghela napas dalam-dalam. Air mata pun meleleh.

“Ya Allah, beri aku cahaya dari setiap huruf Al-Quran yang kulihat dan kulafazkan. Ampuni dosa-dosaku.”

Lihat selengkapnya