Pagi ini Matahari bersinar sangat cerah, namun tak secerah hati Via. Via masih terluka dengan kejadian kemarin, badannya pun masih terasa sakit. Via memutuskan untuk datang terlambat ke sekolah agar tidak berjumpa dengan Ve dan Bunda. Sebenarnya Bunda sudah mengetuk pintu kamar Via beberapa kali dan mencoba membuka paksa. Namun Via tak bergeming, semenjak kejadian kemarin Via mengurung diri di kamarnya. Pintu kamarnya sengaja Via kunci, agar Ve ataupun Bunda tidak bisa mengganggunya.
“Biar saja, nanti kalau dia lapar pasti keluar sendiri.” Begitu kata Bunda kepada Ve yang sedang mencoba mengajak Via makan malam. Kata-kata Bunda yang terdengar jelas ditelinga Via, membuat Via semakin enggan untuk keluar dari kamarnya. Untung saja Via selalu menyimpan camilan dan air mineral di kamarnya. Sehingga rasa lapar yang singgah dapat teratasi.
Jam di dinding kamar Via sudah menunjukkan pukul 07.15. Via yakin Bunda sudah berangkat kerja dan Ve sudah berangkat sekolah. Dengan langkah pasti Via berjalan menuju kamar mandi. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan lebam-lebam karena pukulan Bunda kemarin. Perlahan Via guyur tubuhnya dengan air dingin, teresah menyegarkan di tubuh Via. Membuat semangat Via kembali lagi. Cepat-cepat Via menyelesaikan mandinya dan bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah.
***
“Kok telat?” Tanya Melli menyambut kedatangan Via yang masuk ke kelas pada jam mata pelajaran ke dua. Via masih diam dan merebahkan kepalanya di meja.
“Lu kenapa Via?” Melli bertanya lagi, setelah pertanyaannya yang pertama menguap begitu saja. Melihat sahabatnya yang tidak merespons sama sekali dengan pertanyaannya, Melli berusaha menegakkan Via dengan menarik lengan Via.
“Aduh.... Aduh.... Sakit Mel!!” Seru Via yang merasakan sakit pada lengannya karena ditarik paksa oleh Melli. Namun Melli merasa ada yang aneh pada Via, karena tarikan Melli pada tangan Via tidak terlalu kencang. Tapi Via mengaduh kesakitan, membuat Melli curiga. Tanpa bertanya pada Via, Melli menarik lengan baju Via. Dan terlihat jelas lebam-lebam karena pukulan Bunda kemarin.
“Astaga Via!” Seru Melli dengan nada lumayan keras, membuat seisi kelas mengalihkan pandangannya pada Via dan Melli.
“sssttt....berisik!” Via mencoba menghentikan Melli dan memberikan senyuman pada beberapa pasang mata yang masih memandangnya.
“Itu kenapa Via?” Melli bertanya masih dengan rasa panik namun berbisik pada Via. Via yang mendengar pertanyaan Melli hanya bisa menghela nafas.
“Biasa Mel.”
“Nyokap lu?”
Via hanya menganggukkan kepala dengan lemah dan meletakkan kembali kepalanya di meja. Melihat sikap Via, Melli mencoba menguatkan Via. Dengan lembut Melli membelai rambut Via. Melli sudah banyak tahu tentang Via dan Bunda juga Ve. Terkadang Melli merasa Via enggak bisa diam saja dengan perlakuan Bundanya. Namun Via selalu bilang “gue bisa apa? Gue harus gimana?” Dan pertanyaan Via itu selalu Melli jawab “Kabur aja.” Jawaban yang tak memberikan solusi untuk Via. Kabur kemana? Ke tempat saudara Bunda di Bandung? Itu akan membuat masalah baru jika Bundanya tahu. Lebih baik aku tetap disini dan menghadapi kenyataan, pikir Via.
“Via....” Teriakan Arman sang ketua kelas cukup membuat suasana kelas menjadi sunyi. Via yang merasa namanya disebut, segera mengangkat kepalanya dan memalingkan pandangannya pada sumber suara yang memanggilnya.
“Kenapa Man?” Tanya Via saat pandangan Via dan Arman bertemu.
“Lu di panggil Pak Indra.”
“Emang ada apa?”
“Mana gue tau. Udah sana ke ruangannya!”
Via beranjak dari duduknya dan segera melangkah menuju ruangan Pak Indra. Pak Indra guru Bahasa Indonesia di sekolah Via. Orangnya sangat menyenangkan dan pandai mencairkan suasana. Tak heran beliau menjadi guru terfavorit. Pak Indra juga yang sering menumbuhkan kepercayaan diri Via, beliau juga yang menemukan potensi Via di tulis menulis. Beberapa karya tulis Via menjadi juara pertama di perlombaan yang Via ikuti.
“Tok... Tok... Tok...” Via mengetuk pintu ruang guru. Beberapa guru yang berada di dalam mengalihkan pandangannya pada Via, termasuk Pak Indra.