Rahasia Olivia

Sartika Chaidir
Chapter #5

KECEWA YANG TERDALAM

Via sudah melupakan tragedi tablet itu. Sekarang Via sedang fokus dengan lomba puisinya. Ada 3 puisi yang Via buat dan telah Via serahkan pada Pak Indra.

“Yang ini menurut saya bagus.” Komentar Pak Indra setelah membaca ketiga puisi buatan Via. Pak Indra memberikan puisi yang menjadi pilihannya pada Via.

“Puisinya udah jadi, sekarang kamu harus berlatih membacanya Via. Ingat waktu kamu hanya tinggal 1 minggu.”

“Siap Pak.” Jawab Via dengan mantap.

“Oke kalau gitu, Bapak tunggu ya Via.”

***

Via berusaha memanfaatkan waktu yang tersisa untuk sungguh-sungguh berlatih. Via berusaha untuk mengabaikan kata-kata sinis Bunda. Sepertinya Bunda masih marah dengan kejadian tablet nya yang rusak. Via mencoba berpikir positif dengan sikap Bunda yang sangat marah. Mungkin Bunda kecewa karena tablet yang rusak itu merupakan hasil jerih payahnya. Selama ini Bunda berjuang sendiri membesarkan Via dan Ve. Hampir 17 tahun Bunda berusaha mencukupi kebutuhan dan membesarkan kedua anak kembarnya. Mungkin Bunda sudah mencapai titik lelahnya, hingga membuat Bunda tidak bisa mengendalikan emosinya. Via berharap jika ia bisa mengganti tablet yang rusak itu, akan membuat hati Bunda tersentuh dan bangga padanya.

“Via enggak makan malam lagi?” Tanya Bunda pada Ve. Ada rasa cemas dari nada bicaranya. Ve hanya menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Bunda.

“Anak itu, keras kepala sekali!” Gumam Bunda sambil mencoba menikmati makan malamnya.

Ve sedikit mengembangkan senyumnya mendengar gumam Bunda. Namun Bunda terlalu fokus dengan hidangan di hadapannya, hingga tak melihat senyum yang mengembang di bibir Ve.

“Ternyata Bunda khawatir juga sama Via.” Kata Ve dalam hatinya.

***

Hari ini waktunya Via beraksi. Lomba puisi yang dihadiri oleh 50 SMU unggulan di masing-masing daerahnya akan di mulai. Lomba itu di adakan di JCC Senayan. Via datang didampingi Pak Indra, Melli dan Erik. Sesuai dengan undangan, hanya 1 guru pendamping dan dua siswa untuk menjadi suporter. Saat Via, Pak Indra, Melli dan Erik sampai di JCC sudah sangat padat dengan peserta lain. Via sedikit ragu saat melihat penampilan peserta-peserta saingannya. Namun Via mencoba menumbuhkan rasa percayanya dirinya kembali dengan mengingat tujuan dirinya ingin memenangkan lomba puisi ini. Via sudah berlatih dengan sangat keras dan Pak Indra sudah sangat puas dengan kerja keras Via. Saat Via membacakan puisinya, Via terus berusaha untuk tenang dan percaya pada dirinya. Walaupun tak dapat dipungkiri, Via juga merasakan nervous ketika sedang membacakan puisinya.

***

Erik melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB. Lomba puisi yang Via ikuti sudah selesai, kini hanya tinggal menunggu pengumuman pemenangnya yang akan diumumkan pada pukul 15.30 WIB.

“Kita makan dulu yuk!” Ajak Erik yang sepertinya sudah kelaparan. Memang tadi mendapat snack, tapi buat Erik snack itu tidak cukup untuk cacing-cacing peliharaannya.

“Boleh, yuk!” Jawab Melli yang sepertinya sudah mulai lapar. Via yang juga sudah merasakan lapar, menganggukkan kepala tanda setuju.

“Kalian bertiga saja, Bapak tunggu disini.” Kata Pak Indra sambil fokus pada handphonenya.

Via, Melli dan Erik bergegas menuju area parkir mobil Erik setelah mendapat izin dari Pak Indra. Erik mengarahkan mobilnya menuju Plaza Senayan.

“Buset Rik, enggak salah lu?” Seru Melli ketika sampai di Plaza Senayan.

“Salah kenapa?” Jawab Erik santai sambil mencoba melihat resto sekitar. Mungkin untuk Erik yang memang anak orang kaya, makan di mall adalah hal biasa. Namun bagi Melli dan Via ini terlalu berlebihan. Bagi mereka berdua makan dikaki lima sudah cukup asalkan dapat membuat cacing-cacing di perutnya tidak berisik.

“Makan itu aja yuk!” Ajak Erik sambil melangkah menuju resto yang dia inginkan. Pilihan Erik tertuju pada resto yang menjual makanan dari negeri sakura. Sebenarnya Via sangat menyukai makanan dari negara yang paling ingin dia kunjungi. Namun kantongnya tak sanggup untuk membelinya, menurut Via uang selembar berwarna biru di dompetnya lebih baik di tabung dari pada untuk satu kali makan.

Erik sepertinya bisa membaca mimik wajah teman-temannya yang terlihat sangat ragu mengikuti langkahnya menuju resto.

“Tenang, gue traktir.”

“Bener nih?!” Kata Via meyakinkannya.

Lihat selengkapnya