YOGYAKARTA, 1995.
Ini aneh!
Ini sungguh ganjil!
Ragnara memicingkan mata, memiringkan kepalanya menatap pintu merah hati yang begitu mencolok mata. Bangunan itu seperti tiba-tiba muncul di ujung komplek perumahannya yang lengang. Satu ruas jalanan, berbanjar rumah-rumah tua —dihuni oleh beragam kepala keluarga yang sudah pensiun, termasuk kakeknya.
Ragnara membulatkan tekad, kakinya nekat melangkah, menaiki tangga-tangga kayu menuju teras bangunan paling tua itu. Ia berdiri persis di plat kayu bertuliskan ‘Perpustakaan Magenta’. Napasnya tercekat, sambil menangkupkan telapak tangan di mulut, lagi-lagi ia mengumpat pelan. “Dasar kecoa dari Mars! Ini ajaib! Kok, bisa tiba-tiba ada?”
Sinar matahari yang samar menembus jendela kecil di sudut rumah kuno yang sangat besar itu, ukiran kayu berulir dengan motif aneh menghiasi setiap sudutnya. Jendela di dinding menciptakan bayangan panjang di antara rak-rak tua yang berderit. Suara sepatu Ragnara yang beradu dengan lantai kayu memenuhi keheningan. Ia menghela napas panjang, menatap buku-buku berjajar rapi yang terlihat seperti sudah berabad-abad tidak tersentuh. Ruangan itu seperti memberinya perasaan damai, seolah-olah ia melangkah ke dalam dunia lain.
"Kenapa ya, kayak ada yang aneh di sini?" gumam Ragnara sambil menarik sebuah buku tua berwarna merah pudar dari rak terdekat. Sampulnya berdebu dan retak-retak, tapi judul di punggung buku itu tetap jelas: Cerita di Antara Waktu.
Sebelum ia sempat membukanya, suara berderak terdengar di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang. "Eh, siapa di sana?" bisiknya, setengah berharap, setengah takut. Tetapi tidak ada jawaban. Ragnara menoleh, hanya melihat rak-rak kosong. Ia menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Ah, paling cuma kayunya aja yang berisik."
Ragnara kembali fokus pada buku di tangannya. Dia membuka halaman pertama, tetapi tidak ada tulisan apa pun. Hanya lembaran-lembaran kosong yang terhampar. Ia mengerutkan kening, bingung. "Apaan, ini? Kok kosong?" katanya, sedikit kecewa. Padahal, dari sampulnya, buku itu terlihat seperti buku petualangan yang seru.
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pikirannya, tiba-tiba terdengar suara lain—lebih lembut, seperti hembusan angin yang berbisik. Ragnara berhenti. Kali ini, dia yakin dia mendengarnya. Bukan suara kayu yang berderit, melainkan bisikan yang halus. Ia menutup bukunya dengan cepat dan berbalik, mencoba mencari asal suara itu.
Matanya tertuju pada sudut perpustakaan yang paling gelap, tempat sebuah tangga kayu spiral kecil yang mengarah ke lantai atas. Ragnara tidak pernah menyadari ada tangga di sana sebelumnya. Penasaran, ia melangkah lebih dekat. Di ujung tangga itu, tergantung sebuah lampu minyak tua yang berkedip-kedip seolah-olah menyambutnya.
"Ah, jadi ini rahasianya," gumamnya dengan senyum kecil di bibir. Naluri petualangannya membawanya menaiki tangga itu perlahan, meski rasa penasaran bercampur rasa cemas mulai menggelayuti pikirannya.
Setibanya di lantai atas, Ragnara mendapati sebuah ruangan kecil yang dipenuhi buku-buku lebih tua dari yang ada di lantai bawah. Rak-rak berjejer sampai ke langit-langit, dan di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dengan lampu minyak lain yang menerangi sebuah buku tebal yang terbuka.
Tanpa berpikir panjang, Ragnara melangkah mendekat, lalu duduk di kursi kayu usang yang ada di depan meja itu. "Serius, ini tempat kayak dari cerita-cerita dongeng gitu," bisiknya sambil menatap buku di hadapannya. Judul di halaman pertama membuat bulu kuduknya berdiri: Rahasia Perpustakaan Magenta.