Oxa melangkahkan kaki memasuki perpustakaan yang tampak jarang dikunjungi. Dia melihat sekitar dan mendapati sinar matahari yang menyusup lewat kaca jendela yang tinggi. Padahal seingatnya, di luar masih hujan. Dan jendela-jendela yang tinggi itu, dia sangat yakin bukanlah bagian dari rumah kosong terbengkalai yang ia masuki. Dengan kata lain, perpustakaan yang ia masuki adalah tempat yang berbeda.
Oxa menemukan meja pustakawan yang menghadap pintu masuk. Meja kayu yang mengitari tiang besar tinggi sampai ke langit-langit itu memiliki ukiran klasik yang senada dengan ukiran-ukiran di tiang dan dinding. Dia mendekati meja pustakawan itu kemudian bersuara dan berharap seseorang akan datang menyambutnya.
“Permisi … Halo?”
Tidak ada jawaban. Oxa melakukannya sekali lagi, tapi hasilnya tetap sama. Dia pun memutuskan untuk melewatinya dan memasuki ruang yang penuh rak-rak buku yang tingginya menjulang sampai ke langit-langit. Ia pikir, jika raknya setinggi itu, bagaimana caranya mengambil buku di rak paling atas? Dia mendapat jawabannya sendiri setelah melihat tangga-tangga kayu sederhana yang bisa digeser.
Karena begitu tingginya, sinar matahari pun terhalang sehingga cahaya di sana menjadi remang-remang. Samar-sama Oxa mendengar suara dari lantai atas. Dia merasa mungkin di sanalah orang-orang berada. Pandangan Oxa segera berkeliling mencari tangga. Dia akhirnya menemukan tangga kayu spiral yang berada di ujung ruangan. Melewati tangga itu, dia menuju ke lantai dua.
Di lantai dua ternyata lebih minim cahaya matahari, sampai-sampai perlu bantuan lampu minyak untuk menerangi—Oxa melihat salah satunya yang tergantung di ujung tangga. Oxa melangkahkan kaki di lantai kayu yang sesekali akan berderit saat diinjak kemudian dia berjalan di antara rak kayu yang berisi buku-buku tua. Setelah melewati lorong rak buku, dia menemukan seorang gadis berpenampilan kuno yang tengah berjongkok menghadap kucing kuning yang tengah tertidur di samping meja bundar di tengah ruangan. Oxa melangkah mendekat lalu gadis itu menoleh dan lekas berdiri.
“Hai, aku Ragnara,” gadis itu menyapa dengan ramah seraya melambaikan tangan singkat.
Oxa bertanya, “Kamu yang jaga perpustakaan ini?”
Ragnara menggeleng. “Bukan. Bukan aku. Kayaknya sih si Pompei. Kata Pompei, perpustakaan ini istimewa.”
“Siapa Pompei?”
Ragnara menunjuk kucing kuning gemuk yang tengah tertidur. “Dia,” katanya.
Oxa mengerutkan kening. “Kucing? Kucing itu yang bilang kalau perpustakaan ini istimewa?” tanya Oxa tak percaya.
Ragnara mengangguk. “Iya. Dia bisa ngomong, tahu? Kayaknya kucing ajaib deh. Kayak perpustakaan ini.”
“Perpustakaan ini ajaib?”
Ragnara mengangguk-angguk lucu, “Iya! Gimana nggak ajaib? Pintunya tiba-tiba muncul di dekat rumah aku padahal tadinya nggak pernah ada.”