Suara genderang terdengar semakin nyaring. Badai petir semakin mengamuk di luar sana. Angin yang berhembus kencang memadamkan lampu minyak. Ruangan semakin gelap dan satu-satunya penerang hanyalah sisa-sisa cahaya dari jendela. Ragnara dan Oxa saling memandang dengan tatapan bingung lalu keduanya bersama-sama memandang Pompei yang justru tersenyum dengan damai.
Cahaya lain secara tiba-tiba muncul dan berpendar. Cahaya yang berasal dari buku yang terbuka di atas meja—buku Rahasia Perpustakaan Magenta. Di sana ada lubang aneh yang bercahaya menyilaukan. Anehnya, Ragnara dan Oxa merasa terhisap ke dalam sana. Hisapan yang sangat kuat tanpa bisa dilawan. Ragnara dan Oxa berteriak panik seraya saling menggenggam tangan bahkan berpelukan satu sama lain. Mereka mencoba meraih sesuatu untuk berpegangan, tapi ternyata itu tidak cukup untuk menahan diri mereka agar tidak terhisap. Suara teriakan mereka pun perlahan menghilang seiring mereka memasuki cahaya dan lenyap ke halaman buku. Setelah itu, buku pun kontan menutup. Di halaman sampul, tepatnya di bawah judul bertuliskan Rahasia Perpustakaan Magenta, timbul cahaya yang membentuk sebuah tulisan yang menunjukkan nama penulis: Oxa dan Ragnara.
Ragnara dan Oxa terlempar di suatu tempat yang penuh buku-buku. Mereka jatuh di antara buku-buku dan bersandar rak yang menjulang tinggi. Jika dilihat lagi, tempat itu ternyata tidak jauh berbeda dengan tempat yang sebelumnya. Di lihat dari luasnya ruangan, jendela-jendela kecil yang terhalang rak, ukiran-ukiran klasik di dinding dan langit-langit, jelas sekali bahwa ruang itu adalah lantai kedua Perpustakaan Magenta. Hanya saja tidak ada lampu minyak yang menerangi, tidak ada buku yang terbuka di atas meja di tengah ruangan dan tidak ada Pompei.
“Apa ini? Bukankah ruangan ini sama saja dengan yang tadi?” tanya Ragnara.
“Iya sih, tapi tadi buku-bukunya tidak seberantakkan ini,” kata Oxa seraya bangkit berdiri setelah menduduki setumpukan buku-buku yang tertata tidak rapi di sekitar rak. Dia kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Ragnara berdiri.
“Makasih,” ucap Ragnara setelah menerima uluran itu kemudian berdiri.
“Tadi itu kita masuk ke dalam buku, kan?” tanya Oxa.
“Seingatku iya. Apa itu berarti kita ada di dalam buku? Kenapa kita masuk ke buku yang nggak ada tulisannya? Apa yang harus kita harapkan dari buku kosong?” Ragnara mengerutkan kening karena bingung.
“Judul bukunya Rahasia Perpustakaan Magenta. Mungkin itu sebabnya kita ada di Perpustakaan Magenta setelah masuk ke buku.”
“Kenapa kita harus masuk ke Perpustakaan Magenta lagi padahal sebelum masuk ke buku, kita sudah di Perpustakaan Magenta?” tanya Ragnara yang membuat keduanya berpikir.
“Kalau Pompei di sini, kita bisa tanya dia,” ujar Oxa.
“Bagaimana kalau kita cari dia?” usul Ragnara.
Oxa mengangguk. Tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang perempuan. Suaranya berasal dari lantai satu. Ragnara dan Oxa pun bergegas mencari tahu. Mereka berjalan cepat menuju tangga kayu spiral. Saat menuruni tangga, Oxa yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti melangkah sehingga Ragnara menabraknya lalu keduanya jatuh. Mereka pikir akan jatuh terguling dampai ke dasar tangga. Namun, pada kenyataannya mereka justru jatuh di atas semacam tabir transparan yang membatasi antara lantai satu dan lantai dua. Tabir itulah yang menjadi alasan Oxa berhenti berjalan. Untungnya, tabir itu mampu menahan mereka agar tidak jatuh terjungkal. Ragnara dan Oxa pun terpana. Mereka serasa jatuh di lantai transparan yang berkilauan.
“Wah! Keren! Kayak sihir, ya?” kagum Ragnara seraya meraba-raba permukaan tabir.
“Ini artinya kita nggak boleh ke bawah, kan?” tanya Oxa.
“Mungkin ini semua ada artinya,” pikir Ragnara.
Melalui tabir yang mereka duduki, mereka bisa melihat pemandangan lantai satu dimana Pompei tengah berhadapan dengan seorang gadis seumuran mereka. Gadis itu berambut mengombak dan berkacamata. Gadis itulah pemilik suara teriakan yang Ragnara dan Oxa dengar.
“Itu Pompei sama siapa?” tanya Oxa.