Segala hal-hal baru yang melingkupi perasaan dua gadis lintas zaman itu, dibalut perasaan tak menentu. Ada rasa penasaran, keinginan untuk melintasi setiap pintu waktu, bahkan ketakutan bertemu makhluk yang tak bisa mereka duga. Tiba-tiba kesadaran Ragnara dan Oxa kian menajam. Mereka merenungkan apa yang baru saja dikatakan Pompei. Pintu menuju 2024 dan 1995? Apa artinya mereka harus melintasi waktu untuk menghadapi Milenia?
"Jadi, kita harus mengejarnya ke tahun 2024?" tanya Ragnara, mengerutkan keningnya.
"Dan apa yang ada di tahun 1995? Kenapa aku harus ke sana?" Oxa menambahkan, bingung namun penuh rasa ingin tahu.
Pompei menggeleng pelan. "Tidak semua perjalanan hanya tentang tempat, kadang itu juga tentang waktu. Pilihan yang kalian buat akan menentukan jalan ceritanya."
Ragnara dan Oxa saling pandang. Rasa tegang mulai muncul, tetapi di baliknya ada semangat baru. Mereka menyadari bahwa ini bukan hanya tentang mengejar Milenia—ini adalah bagian dari kisah mereka sendiri. Apa yang akan terjadi jika mereka melintasi batas dimensi waktu? Dan apakah mereka benar-benar siap untuk menghadapi apa yang menunggu di sana?
"Kalau begitu, kita tidak punya banyak waktu," ucap Ragnara dengan suara yang mengeras. Bola matanya membulat.
Oxa menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Kita harus cepat."
Pompei tersenyum lebar, memperlihatkan taringnya yang kecil namun tajam. "Perjalanan kalian baru saja dimulai."
Di depan mereka, halaman buku membuat ilustrasi dua pintu bercahaya yang muncul tiba-tiba—satu memancarkan sinar berkilau dari masa depan, sementara yang lain membawa kesan nostalgia dari masa lalu. Ragnara dan Oxa tahu bahwa pilihan yang mereka buat saat ini akan membawa mereka ke takdir yang berbeda.
Mereka maju, langkah mereka mantap, siap menghadapi apa pun yang akan datang.
“Sebentar….” Oxa meremas tangan Ragnara. Wajahnya tiba-tiba terlihat pucat. “Kali ini, kita bertemu Pompei, makhluk lucu berbulu yang bisa bicara.” Ia menelan ludah. “Bagaimana, kalau lain waktu kita bertemu makhluk aneh lain yang jahat.”
“Seperti… ubur-ubur penghisap harapan,” bisik Ragnara, dengan mimik wajah ketakutan. Tapi ia tidak tampak sedang bercanda.
“Ha??” Oxa mengangkat alis. “Ubur-ubur apa?”
Ragnara mengangguk-angguk lucu. “Atau… monyet bentol bernanah, yang bisa menularkan penyakit sendawa selama-lamanya??”
Oxa tak kuat menahan tawa. Ia tergelak, sambil memegang perut. “Kamu memang aneh, Ragnara. Kamu betul-betul aneh.”
Pompei mengamati dengan wajah penuh kebijaksanaan. Ia kembali tersenyum —seperti tadi. “Ragnara betul.”
Kedua gadis itu, menoleh bersamaan ke arahnya. Bola mata mereka sama-sama bulat. Tanpa sadar, Oxa meremas telapak tangan Ragnara, yang kini meringis.