Ragnara memandang gedung-gedung di sekitarnya dengan kagum, “Ini … Jogja? Wah! Cerah sekali. Maksudku, jalanannya keras. Jarang sekali ada tanah di sini. Semuanya ditutupi lantai. Lantai apa itu yang hitam di jalan raya?”
“Itu aspal. Memangnya tahun 1995 nggak ada aspal?” kata Oxa seraya mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya.
“Benda apa itu?” tanya Ragnara.
“Ini HP.”
“Apa itu?”
“Kamu tahu telepon genggam?”
“Telepon? Telepon bukannya yang ada kabel sama tombolnya? Orang-orang sering antri di wartel untuk menghubungi kerabat jauh.”
“Itu kan 29 tahun yang lalu.”
“Benar juga. Sekarang 2024 dan pasti ada banyak peningkatan. Kamu sudah pernah ke luar angkasa? Pernah teleponan sama alien? Kalau aku bisa pergi ke bulan, aku ingin main sepak bola di sana.”
Oxa kemudian diam menatap Ragnara. Dia tidak habis pikir dengan pertanyaan Ragnara yang aneh-aneh. Namun, dia mengerti bahwa rasa penasaran itu adalah atas sebab Ragnara yang hidup di tahun 1995. Dia pun berusaha untuk memaklumi dan menahan rasa gemasnya. Dia melihat keterangan waktu di ponselnya yang ternyata menunjukkan tanggal seminggu yang lalu. Dia mengamatinya berkali-kali untuk memastikan sampai ia akhirnya yakin bahwa buku Rahasia Perpustakaan Magenta telah membawanya dan Ragnara ke seminggu yang lalu sebelum masuk ke Perpustakaan Magenta.
“Sekarang seminggu yang lalu sebelum aku masuk ke perpustakaan,” kata Oxa memberitahu Ragnara.
“Oh ya? Apa itu artinya masa depan bisa diubah?” tanya Ragnara yang mengundang perhatian Oxa.
Oxa pikir, jika Ragnara benar, maka Oxa tidak akan pernah dituduh meniru karya orang lain—dan itulah yang ia inginkan.
“Tentu saja bisa diubah! Nyatanya Milenia bisa mencuri karyamu,” celetuk Ragnara.
Benar juga. Saat ini Oxa datang ke waktu dimana dia belum mengirim karyanya ke penerbit—yang artinya, belum ada yang mengira bahwa dia telah menjiplak karya Milenia yang sebenarnya adalah miliknya. Maka hari ini adalah kesempatannya untuk memperbaiki reputasinya. Di saat Oxa sibuk memikirkan cara untuk menemukan Milenia, Ragnara justru banyak tingkah. Ragnara takjub melihat jalan raya yang dipenuhi kendaraan berlalu-lalang karena ada banyak jenis kendaraan yang tidak pernah ada di tahun 1995. Dia bahkan mendekati lampu lalu lintas dan mengamatinya—sangat serius saat memperhatikan lampu yang menyala bergiliran dari merah ke hijau, hijau ke kuning lalu kuning ke merah. Dia melihat sekeliling lagi kemudian baru menyadari bahwa mereka ternyata berada di depan sebuah toko buku. Oxa seketika panik saat mendapati Ragnara tiba-tiba memasuki toko buku. Oxa lekas mengejar dan ikut masuk ke toko yang memiliki cukup benyak pengunjung itu.
Oxa mengejar Ragnara yang terus berpindah dari rak buku satu ke rak buku lainnya. Ragnara tidak memedulikan apapun selain buku-buku yang tertata rapi di setiap rak. Dia akhirnya menoleh ke arah Oxa yang terus mengejarnya.
“Oxa, buku-buku di zaman ini, sampulnya bagus-bagus sekali. Bagaimana caranya agar bisa menggambar sebagus ini?”
“Semuanya gambar digital,” kata Oxa memberitahu.
Ragnara bingung, “Apa itu digital? Merk cat air?”
“Ragnara, kamu tidak lupa kan tujuan kita kemari? Kita harus mencari Milenia.”
“Ah, benar.” Ragnara tiba-tiba berinisiatif untuk bertanya kepada seorang pegawai toko yang datang menghampiri mereka, “Kakak tahu Milenia?”
Pegawai toko itu mengangguk lalu menjawab, “Iya, tahu. Buku-bukunya ada di rak sebelah sana,” lalu menunjuk sebuah rak yang berisi buku-buku best seller.
“Maksud saya bukan bukunya, tapi orangnya. Milenia orang Jogja, kan?” tanya Ragnara lagi yang kali ini membuat pegawai itu bingung.
“Saya nggak tahu kalau Milenia orang Jogja,” ujar pegawai itu seraya menggeleng kecil.