Langkah Oxa dan Ragnara terhenti di depan pintu besar merah hati itu lagi. Bagaimana bisa, pintu itu tiba-tiba muncul di tempat yang sepi. Milenia dewasa yang tadi mereka lihat, sudah raib entah kemana. Si pintu merah itu berpendar samar di sudut gedung yang sudah mereka hafal betul bentuk bangunannya. Ya, Perpustakaan Magenta seolah muncul tiba-tiba tanpa mereka duga. Bayang-bayang dari rak-rak buku terlihat di jendela yang berdebu tebal, menyisakan satu jalur sempit yang seolah memanggil keduanya. Tapi… kenapa Perpustakaan Magenta jadi terlihat tak terurus, ya?
“Ragnara, kamu yakin ini aman?” bisik Oxa, matanya menatap pintu yang tampak hidup, berdenyut seperti jantung. “Kok, Magenta tampak lain?” Oxa menoleh ke arah Ragnara, lalu ia melongo melihat tingkah sahabat barunya itu.
Sambil menjilati jemarinya, Ragnara menyeringai. “Milkshake-nya, enak banget. Aku nggak bisa menolak kenikmatan macam begini.”
Oxa memutar bola mata, bibirnya berkedut. “Please, Ragnara, bisa fokus dulu sebentar, nggak?” Ia mengedikkan dagunya ke arah pintu. “Sepertinya, di balik pintu ini ada bahaya mengancam. Mungkin ini yang sudah Pompei dan Milenia peringatkan, kalau penjaga perpustakaan yang sesungguhnya, memang mengerikan.”
Akhirnya, keduanya menengadah menatap langit-langit teras Perpustakaan Magenta, yang terasa dua kali lipat lebih tinggi dari biasanya. Mereka saling berpandangan, dengan sedikit rasa takut bercampur penasaran, tangan Oxa dan Ragnara menyentuh gagang pintu bersamaan. Saat pintu berderit terbuka, aroma amis memenuhi udara. Di hadapan mereka muncul sosok besar—seekor gurita hitam legam dengan semburat magenta, tentakelnya panjang berkilauan dengan tinta menetes-netes. Makhluk itu menggeram.
Monster gurita itu membuka mulutnya, mengeluarkan semburan tinta magenta yang membentuk kabut tipis. “Siapa pun yang masuk ke sini,” desis sang gurita, “akan merasakan hukuman dariku, karena sudah memasuki kawasan terlarang.”
Oxa dan Ragnara saling melirik, merasakan hawa panas di pipi mereka. Ada yang aneh di kulit Oxa, membuatnya merasa seperti diselimuti rambut-rambut menggelikan. “Ragnara, kenapa pipiku gatal dan geli, ya?” bisiknya.
“O-oxa… ke-kenapa, wajahmu bentol-bentol??” Ragnara terbelalak, sambil menunjuk muka Oxa. “Ke-kenapa tanganku juga geli, ya?”
Tanpa disangka, makhluk menyeramkan berbentuk Gurita itu tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini lucu! Kan, sudah kubilang, area utama perpustakaan ini dijaga olehku. Kalian tidak baca aturan di depan??”
Oxa dan Ragnara berpandangan, lalu sama-sama menggeleng. “Ti-dak,” ucap mereka berbarengan. Kini, Oxa yang melirik Ragnara duluan, wajahnya dipenuhi bentol besar-besar yang berdenyut-denyut merah. “Kamu lihat ada papan peraturan? Apa kita melewatkan sesuatu??”
Ragnara menggeleng, sambil menggaruk-garuk lengan hingga bahunya. “Aku nggak melihat apa-apa. Mungkin monster ini mengada-ada, dan memang berniat untuk menghukum kita sejak awal.”
“Huss!!” Monster itu kembali mendesis, dari tentakel dan mulutnya keluar tinta hitam menetes-netes, sungguh bau amis dan menjijikan. “Kalian berdua anak-anak ceroboh, bahkan masuk ke kawasan yang menurut kalian layak dimasuki pun tidak berhati-hati. Aku pikir, kalian ini peminat buku, tapi… ternyata sama saja, kalian bukan pembaca yang cermat!”
Oxa dan Ragnara kembali bersitatap, tangan mereka saling bertautan satu sama lain, dengan jantung berdegup-degup kencang. Meski tubuh mereka kini dipenuhi bentol merah yang berdenyut menyeramkan, pikiran keduanya berputar dengan cerdik.
“Pompei…,” bisik Ragnara. “Kita harus cari Pompei.”
“Aku tahu,” balas Oxa, dengan mata masih terpaku pada si monster. Ia memandangi monster gurita itu lekat-lekat. “Perhatikan Ragnara, lihat tinta yang keluar dari mulutnya. Apa menurutmu itu tinta… buku?”
Ragnara menoleh ke arah monster gurita, matanya mimicing. “Dari mana kamu bisa tahu?”
Sambil menggaruk pipinya yang gatal, Oxa mengeluarkan ponsel, dan mengetik peramban pencarian. Tak ada sinyal! umpatnya dalam hati. “Itu tinta offset berbahan dasar kedelai, aku pernah memperhatikan bahan baku tinta waktu main ke percetakan. Mirip banget dengan tekstur tinta yang barusan menyembur ke tubuh kita.”
“Wow!” Ragnara takjub. “Kamu sungguh pintar. Pantas saja, kamu bisa jadi penulis!”
Oxa berdecak. “Ingat ya, Ragnara. Untuk menjadi seorang penulis itu, kita perlu teliti dalam meriset, dan memperhatikan hal-hal detail, jangan sampai kita menulis hal seenaknya, dan mengabaikan logika ilmu pengetahuan. Tanggung jawab kita untuk pembaca sangat besar.”
“Huh! Dasar penulis sombong!” desis monster gurita, dengan kabut tinta yang menguar dari tentakelnya. “Bisa aja kamu ngomong begitu, tapi melupakan peraturan yang tertulis di depan!”
“Kita nggak melihatnya!!” ucap Oxa dan Ragnara berbarengan, lalu mereka saling lirik.
Tiba-tiba, secepat kilat, monster gurita itu merayap naik ke dinding. Tentakelnya menempel dengan kuat ke pori-pori bangunan tua itu, dan bergerak seperti hewan melata. Tinta hitam dan semburat warna magenta di tubuhnya, membuat ia terlihat makin menyeramkan, persis seperti gumpalan awan raksasa dengan warna yang menakjubkan.
“Kamu ini gurita, apa cicak sebetulnya?? Kok, bisa merayap di dinding?” Ragnara mengamati pergerakan si monster, sambil bertanya takut-takut, tapi rasa penasarannya lebih tinggi.
“Caraku bergerak, itu tergantung fantasi yang ada di kepala kalian, anak-anak ceroboh!”
Oxa memperhatikan makhluk itu —sambil garuk-garuk wajahnya yang gatal. Ia mengamati, bagaimana setiap tentakel besar itu menempel ke dinding, seolah ada perekat di ujungnya. “Kenapa tinta kedelai, yang kamu gunakan, ya?” gumamnya.
Ragnara mendongak, memindai pergerakan setiap langkah gemulai si monster. “Oxa….”
“Ya?”