Rahasia Perpustakaan Magenta

Lukita Foggy
Chapter #9

Ragnara Suka Menjadi Hantu

Setelah lingkaran merah muda yang berpendar itu menyelimuti mereka, mereka tidak lagi berpindah tempat—seolah-olah cahaya merah muda itu hanya datang lalu pudar. Namun, setelah menyadari perbedaannya, Ragnara menertawai Oxa.

“Hahaha. Oxa, kamu tembus pandang kayak hantu.”

Oxa sontak memperhatikan dirinya sendiri. Ia memandangi kedua telapak tangannya yang ternyata memang tembus pandang. Tidak hanya telapak tangan, tapi seluruh tubuhnya. Dia benar-benar panik sampai akhirnya dia mendapati Ragnara—yang masih tertawa—juga bernasib sama.

Oxa berkata, “Lain kali, kalau mau menertawai seseorang, lihatlah diri sendiri dulu.”

Tawa Ragnara terhenti karena pikirannya sibuk mencerna kalimat Oxa. Dia pun memperhatikan dirinya sendiri lalu terkejut juga.

“Huaaa…!”

Giliran Oxa yang tertawa. Dia merasa terhibur dengan ekspresi Ragnara yang lucu saat terkejut.

“Apa yang terjadi? Kita belum mati, kan?” tanya Ragnara panik.

“Aku rasa kita nggak seharusnya khawatir. Aku yakin ini semua ulah Perpustakaan Magenta. Perpustakaan ini yang mengantarkan kita kepada Milenia. Kita dibuat seperti ini juga pasti ada tujuannya.”

Ragnara manggut-manggut mengerti. “Kamu pintar sekali berteori. Apa karena kamu seorang penulis?”

“Aku hanya mencoba menganalisanya. Bagaimanapun aku bukan Pompei yang paling tahu tentang perpustakaan ini.”

“Maksudku, itu keren. Aku suka membaca, tapi belum tertarik menjadi penulis. Setelah bertemu denganmu, sepertinya aku ingin mempertimbangkan masa depanku. Haruskah aku jadi penulis sepertimu?”

“Masa depanmu itu pilihanmu.”

“Sejujurnya, aku sudah belajar banyak darimu.”

“Belajar banyak apanya? Kita belum lama bertemu dan yang kita lakukan hanya mengobrol.”

“Kamu nggak sadar kalau kamu sudah ngasih tahu aku banyak hal? Katamu saat ketemu si gurita tadi, jadi penulis itu butuh riset dan nggak boleh menulis seenaknya—karena ada yang namanya logika. Kamu juga bilang kalau kita punya tanggung jawab untuk pembaca. Kadangkala, omongan seseorang, walaupun sederhana, tapi bisa jadi pelajaran bagi pendengarnya.” Ragnara tersenyum lebar lalu menepuk bahu Oxa beberapa kali. “Oxa, sudah aku putuskan. Aku mau jadi penulis sepertimu,” katanya penuh percaya diri.

Lihat selengkapnya