Rahasia Perpustakaan Magenta

Lukita Foggy
Chapter #10

Melawan Hantu-Hantu Penggerutu Pemakan Kue Putu

Oxa membalas senyum Ragnara, merasa sedikit tenang. Meski pikirannya tetap dipenuhi kekesalan, ia mulai menyadari bahwa berhadapan dengan Milenia bukan hanya soal amarahnya. Mungkin ada pelajaran yang ingin disampaikan oleh Pompei dan Perpustakaan Magenta.

“Aku rasa... mungkin ada benarnya yang dikatakan Pompei,” ujar Oxa pelan, meski nadanya masih penuh keraguan.

Pompei menanggapi dengan tenang, “Bagus, Oxa. Pengendalian diri adalah kekuatan terbesar yang bisa kalian miliki. Tidak setiap musuh harus dihadapi dengan amarah. Kadang, kebijaksanaan bisa lebih tajam daripada pedang.”

Ragnara menepuk bahu Oxa dengan semangat, “Lihat, kita ini tim! Kalau kamu kehilangan kendali, aku akan mengingatkanmu. Dan kalau aku yang terlalu semangat, kamu bisa ingatkan aku, ya?”

Oxa tersenyum simpul, merasa lebih baik. “Baiklah, Ragnara. Aku terima tantangan itu. Lagi pula, aku belum pernah benar-benar punya partner dalam berpetualang seperti ini.”

Mereka berdua saling menatap penuh semangat, dan Oxa merasa bersyukur memiliki teman yang seunik Ragnara, seseorang yang bisa membuat suasana menjadi lebih ringan meski mereka berada dalam situasi yang penuh tekanan.

Pompei akhirnya angkat bicara lagi, “Nah, sekarang kalian berdua sudah siap, saatnya melanjutkan perjalanan. Perpustakaan ini tidak akan berhenti menguji kalian, tetapi kalian sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ingatlah untuk selalu berpikir jernih dan jangan biarkan kemarahan atau ketakutan menguasai.”

Sebelum mereka pergi, Pompei menyerahkan sebuah gulungan kecil ke tangan Oxa. “Ini adalah peta yang akan menuntun kalian ke ruang arsip rahasia perpustakaan. Di sana, kalian mungkin menemukan jawaban atas apa yang sebenarnya diinginkan Milenia.”

Oxa menerima gulungan itu dengan penuh rasa ingin tahu. Ia dan Ragnara saling berpandangan, keduanya merasa siap untuk melangkah maju, walaupun tidak tahu pasti apa yang menanti mereka di ruang arsip rahasia itu.

“Yuk, kita buktikan bahwa kita bisa menghadapi semua rintangan ini tanpa kehilangan jati diri,” kata Ragnara dengan suara yang bersemangat.

Dengan peta di tangan, mereka melangkah meninggalkan meja bundar dan lampu minyak, menuju lorong panjang yang akan membawa mereka ke ruang arsip, tempat misteri Perpustakaan Magenta semakin dalam. Di hati mereka, tersimpan tekad untuk menemukan kebenaran tanpa kehilangan akal sehat dan kendali diri—sebuah pelajaran yang kini menjadi bagian dari perjalanan mereka.

Ragnara berjalan dengan santai, seperti menikmati setiap jengkal kegelapan yang menyelimutinya. Baginya, gelap adalah tempat ia bisa menyembunyikan semua keraguannya. "Rasanya seperti menjadi hantu, bukan?" bisiknya tiba-tiba pada Oxa, dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri.

Oxa tersentak, melihat ke arah sahabatnya yang tampak begitu tenang, bahkan tersenyum lebar. "Kenapa kamu suka perasaan itu?" tanyanya ragu.

Ragnara menoleh, senyumnya tetap terpahat di wajah. "Karena menjadi hantu berarti aku bisa melihat segalanya tanpa terlihat. Aku bisa mendengar bisikan rahasia tanpa orang lain sadar. Di perpustakaan ini, aku merasa seolah setiap dinding memiliki ingatan yang tersembunyi, setiap lorong menyimpan suara-suara dari masa lalu."

Suasana semakin hening, hanya terdengar gema langkah mereka. Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas di ujung lorong, cepat dan hampir tak kasatmata. Mereka berhenti, saling pandang.

"Apakah itu... salah satu dari hantu perpustakaan ini?" bisik Oxa.

Ragnara menahan senyum, matanya berbinar penuh tantangan. "Mungkin. Tapi siapa yang tahu? Mungkin itu juga sekadar bayanganku saja."

Lorong panjang itu akhirnya membawa Oxa dan Ragnara ke sebuah ruangan tersembunyi yang pintunya dipenuhi ukiran kuno. Saat mereka mendorong pintu tersebut, suara berdecit memecah keheningan, seolah ruangan itu sudah lama tidak dimasuki siapa pun. Di dalamnya, terdapat meja kayu besar dengan tumpukan buku-buku berdebu dan, yang paling mencolok, nampan berisi kue putu yang masih mengepul hangat.

Ragnara mengernyit. "Siapa yang meninggalkan kue putu di sini? Apa ada orang lain selain kita di perpustakaan ini?"

Lihat selengkapnya