Setelah keluar dari ruang arsip, mereka melewati koridor menuju perpustakaan utama. Yang membuat mereka penasaran, di kedua sisi dinding koridor terdapat pintu-pintu—yang artinya, di balik pintu-pintu itu pasti ada ruang. Karena penasaran, mereka memutuskan berhenti sebentar sekadar untuk melihat peta.
“Ada ruang, tapi tidak ada namanya,” kata Ragnara saat melihat peta pemberian Pompei yang ia bentangkan dengan kedua tangan.
“Ada banyak ruang tak bernama. Kita mendatangi ruang arsip karena nama ruangnya tertera jelas,” kata Oxa.
“Haruskah kita mendatangi semua ruang di samping kita ini?” tanya Ragnara.
“Memangnya boleh?”
“Memangnya siapa yang melarang? Aku menduga kalau semua ruangnya kosong. Kan katanya, penghuni tetap di sini hanya ada Pompei?”
“Bagaimana kalau ada monster?”
“Ah, benar juga. Tapi, semua monster yang kita temui, nyatanya tidak seseram dugaan kita, kan? Tanda kutip, mereka semua tergantung isi pikiran kita. Kalau kita membayangkan monster kelinci yang menggembung seperti ikan buntal dengan kaki roda, apakah monster seperti itu akan muncul?”
Oxa menjawab seraya tersenyum getir, “Aku tidak yakin.”
Ragnara tiba-tiba mengoper gulungan peta ke tangan Oxa lalu ia bergegas mendekati salah satu pintu. Oxa segera menegur.
“Ragnara! Bagaimana kalau itu bahaya?”
Ragnara menanggapi dengan santai, “Aku yakin Perpustakaan Magenta ada di pihak kita. Nyatanya kita tetap aman setelah bertemu penghuni ruang arsip.”
Ragnara mengetuk pintu, tapi tidak ada hasil. Dia pun dengan berani memutar gagang pintu sehingga pintu terbuka. Dia mendorong daun pintu pelan-pelan. Namun, saat pintu belum sepenuhnya terbuka, sebuah bom molotov tiba-tiba terlempar di depan celah pintu. Ragnara buru-buru menutup pintu sebelum sumbunya terbakar habis. Kemudian … BUM! Suara ledakan terdengar diikuti getaran kecil di seluruh Perpustakaan Magenta. Oxa merasakan debu-debu berjatuhan dari langit-langit sebelum Ragnara menarik tangannya dan mengajaknya berlari kabur.
“Apa itu tadi?” tanya Oxa seraya dibawa berlari.
Ragnara menjawab, “Ada yang melempar alat peledak. Aku tidak melihat siapa yang melemparnya, tapi aku melihat ekor sesuatu. Bersisik dan sangat panjang. Penghuni yang satu itu sepertinya tidak cukup ramah.”
Setibanya di ruang utama, mereka duduk berhadapan di kursi perpustakaan dengan gulungan peta yang dibentangkan di atas meja. Saat mengamatinya sekali lagi, Oxa merasa ada yang ganjil.
“Kenapa anotasi pintu yang digambar hanya yang ada di dalam gedung perpustakaan? Kenapa pintu masuknya tidak ada?” tanya Oxa seraya menunjuk pada gambar peta.
Ragnara bertanya, “Memangnya kamu masuk lewat mana?”
“Lewat lobi yang ada meja pustakawannya.”
“Oh ya? Aku baru tahu kalau ada meja pustakawan. Saat aku masuk, aku langsung berada di ruang yang penuh rak buku.”
“Aku rasa aku perlu memastikannya.”
Oxa beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju lobi. Dugaannya pun benar. Pintu yang menjadi jalan masuknya ke Perpustakaan Magenta … menghilang.
“Sungguh perpustakaan yang aneh,” kata Ragnara yang ternyata mengikuti di belakang. “Aku akan memeriksa pintu masukku juga.”
Oxa mengikuti Ragnara yang berlari ke sudut lain. Di ruang pertama yang Ragnara masuki di Perpustakaan Magenta, di sana juga tidak ada pintu merah hati yang mereka cari.
“Apa ini artinya kita tidak boleh keluar?” pikir Ragnara.
“Bagaimana kalau artinya adalah tidak ada yang boleh masuk ke perpustakaan ini selain kita?” pikir Oxa.
“Sepertinya dua-duanya,” kata Ragnara seraya manggut-manggut kecil seolah-olah dia mengerti sesuatu.