Langkah-langkah mereka membawa Oxa dan Ragnara ke ambang pintu merah hati yang kini tampak seperti gerbang waktu. Kampung halaman yang dilihat Ragnara melalui pintu tersebut tampak berbeda—tidak sepenuhnya seperti yang ia kenal. Rumah-rumah kuno itu berdiri megah, seolah menggambarkan zaman lampau yang lebih hidup dan gemilang.
“Kamu yakin ini kampung halamanmu?” tanya Oxa seraya mengamati sekitar. Ia menunjuk ke arah beberapa orang berpakaian tradisional yang membawa obor di sepanjang jalan kecil berbatu.
Ragnara mengangguk yakin, meski raut wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan. “Ya, tapi … semuanya terlihat seperti … masa lalu. Ini jauh lebih kuno dari kehidupanku selama ini.”
Tanpa berpikir panjang, Ragnara melangkah keluar dari pintu merah hati, diikuti oleh Oxa yang tampak ragu-ragu. Begitu mereka berdua melewati ambang pintu, suasana berubah drastis. Udara dingin Perpustakaan Magenta tergantikan oleh aroma kayu bakar dan bunga melati yang menyeruak dari pekarangan rumah-rumah di sekitar mereka.
“Ini luar biasa,” gumam Oxa, matanya tertuju pada bulan purnama yang tergantung besar di langit gelap, cahayanya menyelimuti desa dengan kilau keemasan.
Namun, keindahan itu segera terusik. Dari jauh, terdengar suara gemuruh langkah-langkah berat disertai pekikan yang menggelegar. Penduduk desa yang tadinya sibuk beraktivitas berlarian panik, bersembunyi di balik pintu rumah mereka.
“Ada apa?” bisik Oxa sambil memegang lengan Ragnara.
Ragnara mengerutkan kening, mencoba mengenali suara itu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, sosok besar muncul dari balik bukit di ujung desa. Makhluk itu bersisik tebal, berekor panjang, dan matanya bersinar merah seperti bara api.
“Makhluk itu … aku pernah melihat ekornya,” kata Ragnara, suaranya penuh kecemasan.
Oxa tersentak. “Sepertinya, itu makhluk yang melempar bom molotov tadi? Ia bukan cuma ada di Perpustakaan Magenta, apakah dia berhasil membebaskan dirinya dan muncul di dunia nyata?”
Ragnara manggut-manggut. “Sepertinya ia juga bisa masuk ke portal waktu seperti kita, Oxa. Ingat, kan, soal prinsip ‘waktu’ yang tadi kita bicarakan?”
Oxa mengangguk, ia menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal. Keduanya tampak bingung.
Makhluk itu melangkah semakin dekat, menimbulkan gempa kecil di setiap jejaknya. Warga desa yang bersembunyi mulai melantunkan doa-doa, seolah-olah mencoba melindungi diri dari kehadiran makhluk tersebut.
“Kalau kita tidak segera melakukan sesuatu, makhluk itu bisa seenaknya menghancurkan desa ini,” kata Ragnara.
“Sebentar!” sahut Oxa. “Apakah kekuatan monster itu sama saja seperti yang terjadi di Perpusatakaan Magenta?”
“Maksudmu?” Ragnara mengernyit.
“Bahwa mereka bisa dikendalikan pikiran kita. Bagaimanapun, logika di perpustakaan kan berbeda dengan logika umum, semua bisa pikiran kita kendalikan.”