“Kita dimana sekarang?” tanya Ragnara setelah ruang yang mereka tempati menjelma menjadi semacam ruang kerja.
Ragnara mendekat ke arah meja lalu terpana saat melihat sebuah mesin ketik di atas meja. Ragnara terperangah kagum.
“Wow!”
“Mesin ketik seperti itu tergolong mewah di zamanmu, kan?” tanya Oxa.
“Tentu saja, tapi aku sering melihatnya di TV.”
Oxa turut mendekat seraya memungut salah satu kertas di lantai. Dia membaca sepotong tulisan di kertas itu yang hanya mengisi setengah halaman dan diakhiri dengan kesalahan penulisan kata.
“Ada typo—makanya tidak diteruskan lagi,” kata Oxa. “Sebentar! Ini …” Dia menyadari sesuatu lalu membacanya sekali lagi. “Ceritaku! Ini penggalan ceritaku—Topi Kertas Lima Bersaudara. Apa Milenia sudah menyalinnya? Di ruang ini? Dengan mesin ketik itu?”
Mengetahui hal itu, Ragnara ikut memungut kertas-kertas di sekitarnya. “Sayang sekali kertas sebanyak ini disia-siakan. Padahal hanya salah sedikit—kan bisa dicoret saja?”
“Kalau Milenia mengerjakannya di sini, apa berarti ini rumah Milenia?” pikir Oxa.
“Tapi jika Milenia seumuran kita, bukankah ruangan ini terlalu membosankan? Hanya orang dewasa yang betah berlama-lama di ruang seperti ini. Di tambah lagi, ada banyak dokumen-dokumen di laci yang menurutku bukan milik anak SMA. Misalnya … ini!” Ragnara mengeluarkan satu dokumen dari dalam laci dan membukanya. Dia membaca judul, “Laporan keuangan …,” lalu segera menutupnya lagi. “Aku benci angka-angka. Aku harap ada buku dongeng bagus yang bisa aku baca di sini.”
“Apa tidak apa-apa menggeledah laci sembarangan seperti itu?” tanya Oxa yang memperhatikan Ragnara membuka setiap laci karena penasaran dengan isinya.
Ragnara tiba-tiba berseru setelah menemukan sesuatu, “Wah!”
“Apa? Apa yang kamu temukan?” tanya Oxa buru-buru—rupanya dia pun penasaran.
Ragnara menunjukkan buku bersampul tua klasik yang ia temukan di laci. Sampul yang serupa dengan buku-buku di Perpustakaan Magenta—sangat khas—dan buku itu berjudul: Topi Kertas Lima Bersaudara.
Oxa meraih buku itu, memperhatikannya sebentar lalu memeluknya penuh haru. “Akhirnya. Kita berhasil menemukannya. Terima kasih, Ragnara. Rasa pernasaranmu benar-benar membantuku.”
Ragnara tersenyum dan merasa keren. “Karena sudah ketemu, sekarang apa? Kembali ke Perpustakaan? Masalahnya, bagaimana cara kita kembali? Menunggu portal? Sebelum itu, apa kamu tidak merasa ada yang janggal? Untuk apa Milenia mengetik kutipan-kutipan yang tidak selesai di banyak kertas? Kalimat awalnya juga terpotong seolah tulisan itu merupakan lanjutan dari halaman sebelumnya.”
Oxa memperhatikan lagi kertas-kertas yang telah diletakkan di meja—kertas-kertas yang tulisannya tidak selesai. “Mungkinkah kertas-kertas ini mau dibuang? Karena ada typo, Milenia jadi menggantinya dengan lembar baru.”
“Maaf, Oxa. Aku tidak mengerti. Apa itu typo?”