Suara jeritan Milenia bergema di seluruh ruangan. Monster yang lahir dari pikirannya sendiri kini berdiri tegak di hadapannya, menggetarkan lantai dengan setiap langkahnya. Oxa dan Ragnara langsung bersiaga, mencoba mencari cara untuk mengendalikan situasi. Langkahnya yang bergemerincing, serta raungannya yang menggelegar, membuat dinding-dinding ikut bergetar. Lho, kok tiba-tiba mereka semua ada di Perpustakaan Magenta??
Milenia, Oxa dan Ragnara saling pandang. Mereka ternyata masuk ke portal waktu, dan kembali ke Perpustakaan Magenta, dengan monster yang mengikuti langkah mereka semua. Oxa tiba-tiba tersadar.
"Milenia, kamu harus berhenti memikirkan hal-hal yang menakutkan!" seru Oxa, suaranya keras. Ia seperti ikut gemas dan khawatir.
Milenia berusaha mengatur napasnya, tetapi ketakutan yang luar biasa membuat pikirannya semakin liar. Monster yang mengikuti mereka masuk ke lorong waktu itu menggeram, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya yang berkilat dalam cahaya remang ruang kerja itu. Kumis apinya berkibar, dan lidahnya yang panjang mulai menjulur ke arah mereka. Monster itu berdiri di tengah ruangan, tubuhnya yang bulat dan berbulu tampak hampir menggemaskan jika bukan karena matanya yang bersinar merah seperti bara.
Saat diam, makhluk itu terlihat seperti boneka besar yang bisa dipeluk, dengan perutnya yang sedikit menggelambir dan lengan pendek yang berayun pelan. Tapi ketika ia menggeram, suasana berubah drastis. Dari dalam mulut lebarnya yang sebelumnya hanya tampak seperti senyum lebar yang konyol, muncullah deretan gigi tajam yang berkilauan dalam cahaya remang. Kumis-kumis apinya berkibar liar, mengeluarkan percikan kecil yang menghanguskan udara di sekitarnya. Lidahnya yang panjang dan berlendir menjulur perlahan, menjilat udara seperti sedang mengecap aroma ketakutan Milenia.
Ia mundur selangkah, tubuhnya menabrak meja kerja yang penuh tumpukan kertas. Monster itu mengikuti gerakannya, mengeluarkan suara rendah yang menggema, seperti suara geraman dari kedalaman gua yang gelap. Udara menjadi lebih berat, seolah-olah ruangan itu menyusut hanya untuk mereka berdua. Milenia menahan napas, berharap entah bagaimana makhluk itu akan kembali diam, kembali menjadi sesuatu yang terlihat lucu—bukan ancaman yang siap melahapnya dalam sekali terkam.
Namun, geraman itu semakin keras, dan Milenia menyadari satu hal: monster ini mungkin menggemaskan saat diam, tapi saat ia bersuara, ia adalah mimpi buruk yang menjelma nyata.
"Aku... aku tidak bisa!" Milenia menangis, matanya membelalak saat monster itu bergerak lebih dekat.
Ragnara memutar otaknya. "Kalau ketakutan membuatnya semakin nyata, mungkin kita bisa melakukan kebalikannya!"
Oxa menangkap maksud Ragnara. "Milenia! Coba bayangkan monster ini berubah menjadi sesuatu yang tidak berbahaya! Bayangkan ia menjadi... sesuatu yang lucu!"
Milenia masih terisak. "Seperti apa?"
"Apa pun yang membuatmu tertawa! Bayangkan ia menjadi boneka raksasa! Atau gumpalan awan berbentuk es krim!" kata Ragnara cepat.
Milenia mengerjap, mencoba memahami. Monster di hadapannya masih mendekat, tetapi dalam kepanikannya, ia mulai membayangkan hal lain. "Kelinci... kelinci berbulu merah muda... memakai kaus bergaris..."
Seketika, monster itu mulai berubah. Sisiknya mencair seperti lilin yang meleleh, lalu berubah menjadi bulu lembut berwarna merah muda. Mata yang tadinya menyeramkan kini membulat seperti kancing boneka. Taringnya menghilang, digantikan oleh senyum lebar seperti wajah karakter kartun.
Ragnara terkekeh, hampir tidak percaya dengan perubahan yang terjadi. "Lihat! Kamu bisa mengendalikan imajinasimu!"