“Mari kendalikan pikiran masing-masing!” pungkas Oxa. “Mari jangan memikirkan soal monster atau hal-hal buruk apapun itu. Mulai sekarang, kita harus berhati-hati dengan pikiran kita sendiri, berhati-hati dalam membayangkan sesuatu.”
Ragnara dan Milenia segera mengangguk setuju. Suara geraman kemudian tak lagi terdengar dan banyak pasang mata tak lagi terasa. Namun, suasana perpustakaan yang remang-remang masih terasa mencekam.
“Bukankah perpustakaan terasa lebih suram? Rasanya, kita seperti masih terjebak di masa lampau,” pikir Oxa. Bola matanya bergerak kesana-kemari melihat sekitar.
Milenia menggeleng. “Menurutku sama saja.”
“Aku setuju dengan Oxa,” ujar Ragnara. “Saat aku datang kemari, segalanya terlihat lebih rapi dari ini. Bagaimana kalau kita mencari Pompei untuk menanyakan apa yang terjadi?” usulnya.
Milenia menggeleng, menolak. “Kucing itu pasti akan menceramahiku.”
Ragnara menatap Milenia dan berkata, “Itu lebih baik daripada Oxa menghajarmu, kan?”
Milenia terdiam. Diam-diam dia melirik Oxa yang tengah memandangnya, lalu segera membuang muka lagi. Saat Oxa dan Ragnara mulai bergerak mencari Pompei, Milenia segera beringsut ke tengah seraya menggandeng lengan mereka dengan kedua tangan. Milenia menatap keduanya yang tiba-tiba menoleh kepadanya.
“Aku hanya sedang berjaga-jaga jika kalian punya niat jahat untuk meninggalkanku,” kata Milenia.
Ragnara terkekeh. “Sebenarnya … itu bukan ide yang buruk. Haruskah kita meninggalkannya, Oxa?”
“Aku bahkan tidak punya niatan sedikitpun untuk mengajaknya,” kata Oxa dengan tatapan sinis tertuju kepada Milenia.
Milenia membalas tatapan mata itu dengan cara yang sama. “Jahat sekali. Beginikah caramu memperlakukan teman?”
“Memangnya siapa yang mau berteman dengan pencuri?”
“Berhenti menuduhku! Sudah ku bilang aku tidak bermaksud mencuri.”
“Kau sukses di masa depan gara-gara menerbitkan karyaku atas namamu!” nada suara Oxa meninggi dan terdengar mirip seperti bentakan—itu cukup membuat Milenia mundur selangkah dan melepaskan tangannya dari mereka.
“Sungguh?” Milenia tak percaya. “Apa itu benar, Ragnara?”
Ragnara mengangguk untuk mengonfirmasi itu. “Kami sudah bertemu denganmu di masa depan. Kau sudah dewasa dan … telah menerbitkan cukup banyak buku.”