POV Putra.
"Surprise!"
Aku berteriak sambil merentangkan kedua tangan, sengaja membuat orang-orang yang berkumpul di ruang tamu terkejut kalau bisa jantungan. Aku sudah menyiapkan prank kecil-kecilan untuk merayakan pencapaian luar biasa ini, sejak tadi dalam perjalanan pulang ke rumah.
Satu jam yang lalu, sebenarnya aku pergi dengan tiga teman dekat. Memutuskan mendaki gunung sekaligus liburan sederhana. Namun, sialnya, mobil yang kami tumpangi mengalami rem blong dan menabrak truk, sebelum oleng terjun bebas ke jurang.
Semua penumpang tewas, hanya aku yang selamat. Tanpa cedera, tetap ganteng maksimal, dan bisa pulang sendiri. Entah karena alasan apa, tubuhku sama sekali tidak terluka. Bukankah ini satu prestasi?
"Saya nggak jadi mati, lho! Padahal mobilnya sampai nyungsep ke jurang!" teriakku bangga, berusaha menarik perhatian semua orang.
Akan tetapi, ucapanku seperti angin lalu. Tenggelam dalam suasana berkabung yang menyelimuti ruangan ini. Semua orang terlihat sedih, beberapa di antaranya menangisi kehilangan yang terasa sangat dalam. Bahkan, rumahku yang tidak mengalami kerusakan dipasang bendera kuning, simbol adanya orang meninggal dunia.
Aneh, mereka pada kenapa dan siapa yang meninggal, ya?
"Pa, aku pulang!" Aku mendekati Papa yang terlihat menghela napas beberapa kali, ikut-ikutan sedih. "Putra tadi satu-satunya yang selamat pas kecelakaan!"
Papa tidak menanggapi, malah menggenggam tangan Mama yang sesenggukan entah karena apa. Sama sekali tidak bicara. Aneh. Biasanya Papa selalu memperhatikan aku, tapi kali ini kenapa mengabaikan anak tunggalnya yang ganteng ini?
"Ma, nangisin apa? Putra udah pulang, dan sekarang ada di depan Mama." Aku panik, perasaan tidak enak mulai merayap. "Semuanya pada kenapa?"
Mama tetap terisak, tidak ada reaksi sama sekali.
Apa ini? Drama macam apa yang sedang terjadi? Kenapa semua orang jadi pura-pura tidak memerdulikan aku?
Tidak menyerah. Aku mendekati siapa saja yang bisa kusebut namanya, mengibaskan tangan di depan wajah satu per satu dari mereka, sambil meyakinkan kalau ini benar-benar aku, Putra Yudhistira. Namun, meski suara sudah serak, tetap saja diabaikan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bapak-bapak, ibu-ibu, bagi yang ingin melihat wajah almarhum untuk terakhir kalinya dipersilakan," ucap seseorang menyudahi aksiku tadi.
Seorang laki-laki kisaran umur empat puluh tahun, memakai kemeja putih dan sarung batik tiba-tiba duduk di sebelahku. Perlahan tangan kanannya membuka kain penutup jenazah yang terbaring di karpet. Bau harum menyeruak tajam hampir membuatku bersin.