"Fi, kenapa kita nggak naik angkot? Dua tahun lagi baru sampai kalau sepedahan gini" gerutuku. Tidak sabar karena Sofi mengayuh sepeda seperti siput berjalan.
Aku mulai bosan. Sebenarnya ingin duduk di sadel dan mengayuh, malu nurut dibonceng cewek. Namun, kalau aku membonceng Sofi terus sepedanya jalan sendiri, viral lagi nanti.
"Berisik! Nggak bisa ngapa-ngapain aja protes!" sahut Sofi ketus.
"Aku cuma kasih saran, Fi. Biar cepet sampai tujuan," sanggahku.
"Saran doang bisanya. Duit napa buat makan!"
Sabar, Putra, sabar. Anggap saja efek samping orang indigo.
"Putra, gue masih nggak percaya lo udah meninggal, deh!" celetuk Sofi tiba-tiba. Setelah saling diam cukup lama.
"Maksudnya?" tanyaku balik.
"Iya, bisa aja lo bayar orang untuk bikin berita kematian biar heboh, biar viral, terus dapat fens dengan jalan instant. Cowok freak kan gitu!"
Ngasal terus kalau bicara, memangnya pas tabrakan sampai mobilku nyungsep itu, sengaja untuk mencari sensasi tambahan. Masih sayang nyawa, wey. Nyawa aja nggak sayang saya.
"Terus, biar kamu percaya aku harus ngapain?" tanyaku.
"Buktiin kalau lo emang hantu!" tantangnya.
Harus pengumuman pakai toa masjid kah? Atau harus nakutin orang?
"Oke. Silakan kamu tanya ke orang-orang, ada yang bisa lihat aku apa enggak?"
"Semua orang? Males. Buang waktu!"
Terus maunya gimana? Tuhan, berikan aku stok kesabaran terbanyak di dunia untuk menghadapi cobaan bernama perempuan.
"Ya udah. Kalau gitu kita ke taman, kamu tanya siapa aja, ada yang bisa lihat aku atau enggak. Cukup beberapa orang."
"Oke"
Perjalanan akhirnya meleset dari rencana awal, Sofi membelokkan sepeda ke taman kota. Bertanya kepada beberapa orang yang kebetulan lewat, tentang ciri-ciriku yang berjalan mengikutinya, tanpa mengatakan nama. Tentu saja mereka bilang tidak tahu.