Rahasia Sofi

SyerrilAuztin
Chapter #2

Dia Lagi, Dia Lagi

Aku berhenti dan berbalik, bermaksud memberi sedikit pelajaran sopan santun pengendara sepeda yang tadi kutabrak. Namun, dia sudah menghilang di pertigaan. Mau mengejar, nanti gadis itu semakin besar kepala merasa penting.

 

Gadis cantik itu bisa melihatku, bisa bersentuhan langsung denganku. Jangan-jangan dia setan. Tapi, masa setan naik sepeda siang hari terus nggak gosong terkena matahari? Halah. Pusing mikir

 

Aku tiba di depan rumah kontrakan Azka dengan rasa lelah luar biasa. Mau bilang dengan napas putus nyambung, hantu nggak napas, Bro. Lari marathon dari pemakaman umum ke sini ternyata membuat tenaga terkuras habis.


Sempat ada niat nebeng angkutan umum, takut salah jalan dan mengulang rekaman kecelakaan, Pak supir tidak bisa melihat aku. Kalau pakai teknik menghilang terus muncul tiba-tiba, nggak tahu caranya.

 

Aku baru sehari jadi hantu. Mau belajar ke siapa? Lagipula tujuan ke sini untuk minta tutorial hidup tenang, bukan tips jadi hantu baik.

 

Aku duduk sebentar di teras, memulihkan tenaga sekaligus menenangkan pikiran yang mulai ngawur ke mana-mana. Lebih baik menunggu Azka ke luar. Ini jam makan siang, biasanya anak itu senang beli makanan kekinian di online. Apalagi kalau aku datang, langsung cosplay jadi kang palak.


Sekian menit menunggu, Azka tidak juga membuka pintu. Ingin mengetuk, takut tanganku nembus seperti menyentuh Papa tadi. Mau teriak, tidak mungkin suara hantu bisa terdengar manusia. Kalau langsung masuk nembus dinding, Azka bisa melihat makhluk dimensi lain. Gimana kalau anak itu reflek baca ayat kursi karena ketakutan?

 

Aku harus bagaimana?


Lewat jendela sajalah, langsung ke kamar Azka. Siapa tahu dia sudah menunggu, dan ingin mendengar ceritaku sehari menjadi hantu. Lumayan bisa curhat.

 

Aku mengepalkan tangan menahan geram, begitu tiba di kamar Azka. Sudah tempatnya berantakan, pemiliknya serius sekali mengotak-atik game online. Sekotak pizza tergeletak di meja, menemani si jomblo ngenes yang mendadak komat-kamit, bicara kepada diri sendiri meratapi nasib.


"Putra, lu tega amat pergi secepat itu. Nggak pamit ke gue lagi," ucapnya sangat sedih. "Gue kan belum minta maaf."


Oon, dasar anak orang. Aku itu meninggal kecelakaan, bukan pergi ke luar negeri. Iya kali pamitan dulu kayak pesan tiket.

 

"Gue juga belum bisa jadi teman terbaik buat lu, Putra," imbuhnya sambil berusaha menangis bombay.


Heleh bocah. Kalau bisa jadi manusia lagi, ingin rasanya aku tukar nasib biar Azka merasakan jadi hantu seharian.


"Gue belum puas juga lu traktir, Putra!"


Eh, ngomong apa? Dasar teman somplak nggak ada pengertian!

 

Aku duduk di samping Azka, menikmati aroma pizza yang menggugah selera. Meski tidak bisa merasa lapar dan memegang langsung makanan penuh toping itu, tapi penciumanku masih berfungsi dengan baik.

 

Aku kira Azka teman rasa saudara, ternyata teman rasa makanan gratisan! Aku ikut menggerutu, tapi anehnya Azka diam saja. Malah menyandarkan tubuh ke kursi sambil makan sepotong pizza. Kehadiranku seperti tidak terlihat sama sekali.

Lihat selengkapnya