Rahasia Tante Nina

Johanes Gurning
Chapter #5

Nikmatnya Hanya Sebentar

Masih dari kisah tiga tahun lalu

Pada sudut terdingin kota, malam itu dua orang sedang berbincang serius. Seorang perempuan dan satu orang lagi laki-laki.

"Kau harus memikirkan ini baik-baik. Keputusan yang salah tidak akan pernah mengembalikan apa yang sudah kaukorbankan."

Suara itu terdengar samar di bawah hujan yang rimbun. Sudah hampir dini hari, namun kedua orang itu masih saja lupa akan waktu.

Lelaki itu bergumam tak jelas. Semua yang keluar dari mulutnya tidak terdengar tegas. Wajahnya mengalami keringat dingin, tapi senyum di bibirnya tak jua lekang.

"Sudah satu bulan lamanya ia 'membelakangiku'. Ia mengabaikan semua nasihatku. Hal itu membuatku sering mengalami migrain. Bagaimana tidak? Ia bahkan tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri, " ucap lelaki itu.

Perempuan itu tersenyum. Matanya meronda dari ujung kepala hingga ujung kaki lelaki itu. Dia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang berontak--berharap besar untuk dilampiaskan. Ia menoleh ke arah lain dan menekan dadanya sendiri yang bergemuruh.

"Sabar! Ini belum saatnya," bisik perempuan itu pada diri sendiri. Ekspresi wajahnya tampak kesal. Giginya terdengar menggeletuk saat mengucapkan kata-kata itu.

"Kau sedang bicara dengan siapa?" tanya lelaki itu. Ternyata ia mendengar percakapan sebelah pihak tersebut. Namun perasaan aneh itu buru-buru ditepisnya. Urusannya malam ini harus rampung dan tidak akan dibuatnya berantakan.

Perempuan itu mentapnya. Dahinya sedikit mengerut. Cukup satu senyum pada bibir yang ditempeli gincu berwarna merah menyala, maka usai sudah semua perkara. Saat bibirnya saling menarik menuju dua sisi yang berlawanan, saat itu pula setiap perkataannya akan didengar. Itu ketetapan yang sudah ada padanya sejak lama. Setidaknya sejak tubuhnya mengemban dua roh.

"Aku tidak sedang bicara. Hanya ada kita berdua di sini."

Laki-laki itu menggeleng. "Haruskah aku memenuhi syarat itu?"

"Semua pilihan ada di tanganmu. Makmur secara instan tidak pernah terjadi tanpa imbalan. Kamu tahu itu," ucap perempuan itu lagi. "Tapi kamu tenang saja, kita akan melakukannya secara perlahan." Jemari rampingnya mendarat di pundak lelaki itu.

Kemudian ia menuturkan bagaimana 'kesejahteraan' itu akan datang perlahan. Sebuah 'kehormatan', 'martabat yang tinggi', hingga 'pundi-pundi' akan terus bertambah. Lelaki itu hanya perlu melakukan satu hal: melakukan pengorbanan.

***

Malam telah merambat tua, namun Bu Broto tak kunjung terlelap. Beberapa menit yang lalu, ia melirik putrinya yang tertidur begitu nyenyak di kamarnya. Sementara Pak Broto tak jua pulang hingga selarut ini.

Perempuan itu berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Di luar, hujan sedang menari dengan gerakan begitu erotis. Angin yang meliuk--mempermainkan dahan mahoni di samping rumah, membuat batinnya seolah tidak tenang.

Tak sabar menunggu, Bu Broto meraih telepon genggamnya dan mulai mencari-cari sesuatu di sana. Namun, kekecewaan kembali meliputi relung hatinya, tatkala mendapat jawaban yang tidak pasti. Pak Broto tidak bisa dihubungi.

Lihat selengkapnya