Kisah ini masih datang dari tiga tahun yang lalu
"Siapa selanjutnya? " ungkap Heru setelah mereka kembali dari TKP.
"Yang cukup menjelaskan hanya gincu merah yang ditinggalkan pelaku di tubuh korban. Dan yang terbaru, lukisan bibir yang muncul di leher korban," jelas Sahat.
Sahat adalah rekan Heru yang telah berada di kesatuan ini entah sudah berapa lama. Dari rumor yang beredar di kalangan petugas, lelaki berdarah Batak itu terlalu 'bersih' untuk naik jabatan.
"Bisakah aku melihat barang bukti dari TKP?" tanya Heru lagi.
Sahat bergerak cepat dan menyerahkan barang bukti yang telah dibungkus rapi. "Seharusnya kita sudah bisa menemukan sesuatu dari barang bukti yang pertama. Namun lelaki itu lagi-lagi menunda pemeriksaan entah untuk alasan apa," ketus Sahat.
Heru mengelus keningnya perlahan. "Sudah berapa lama sejak kejadian yang pertama?"
"Satu minggu," jawab Sahat.
Heru menggeleng-gelengkan kepala dan mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang sejak tadi mengisi kepalanya.
***
"Pak Broto?"
Lelaki itu hanya menatap Bu Nani sekilas sebelum masuk ke dalam rumah. Sikapnya membuat Bu Nani benar-benar bingung.
"Pak Broto dari mana saja? Mengapa baru pulang sekarang? Apakah Pak Broto dapat berita apa yang telah terjadi?" tanya Bu Nani. Serentetan pertanyaan itu tidak mendapat jawaban karena Pak Broto lebih memilih diam dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh.
Di dalam kamar, Bu Broto seperti patung bernapas. Derit suara pintu yang terbuka tidak mendapat perhatiannya. Matanya menatap kosong ke luar jendela kamar putrinya.
"Maafkan aku," ucap Pak Broto, nyaris tanpa ekspresi. Wajahnya datar seperti kehilangan dirinya sendiri.
Kamar itu sekarang sepi. Dua orang yang ada di sana juga seperti kehilangan diri mereka sendiri.
Saat Pak Broto keluar dari kamar mendiang putrinya, ia masih menemukan Bu Nani duduk sendiri di sofa ruang tamu. Perempuan itu langsung saja berdiri ketika menyadari kehadiran Pak Broto.
"Bagaimana keadaan Bu Broto?"
Pak Broto tidak langsung menjawab. Ia duduk di seberang Bu Nani, kemudian menatap perempuan itu datar.
"Mengapa tiba-tiba aura rumah ini terkesan menakutkan?" bisik Bu Nani seolah bicara pada diri sendiri.
"Pulanglah, Bu Nani. Anda tidak akan mengerti dan tidak akan pernah mengerti," ucap Pak Broto datar.
Tanpa menyela lagi, Bu Nani berlalu. Namun, matanya menatap lelaki yang kini duduk dengan ekspresi wajah lelah di ujung sofa. Ada iba yang penuh tanya dalam wajahnya.
***
Malam turun begitu cepat. Suasana rumah Pak Broto seperti ruang sunyi yang dipenuhi duka. Dingin dan berubah muram.
Bu Broto lebih memilih diam di kamar putrinya sejak pemakaman tempo hari. Pikirannya sedang berkelana pada ruang-ruang tak terjangkau akal sehat. Semisal, di mana Indriyani sekarang berada? Bisakah dia menemukan jalan pulang?Akankah ia muncul di depan pintu esok hari? Kapan mereka akan bersama kembali?
"Makanlah sedikit. Perutmu belum terisi sejak kemarin," kata Pak Broto. Lelaki itu muncul di kamar dengan nampan berisi makanan. Aroma soup menguar ketika lelaki itu tiba.
Sayangnya, Bu Broto tidak menjawab. Yang terjadi justru air matanya yang mengalir deras. Wajahnya telah sembab bahkan terlihat pucat. Kedua kantung matanya terlihat bengkak.
"Kamu harus mengikhlaskannya."