Seperti kebiasaan buruk Dias, sepanjang hari dia tidak bisa fokus di kantor. Otaknya telah dipenuhi oleh bayangan Tante Nina. Perempuan cantik itu telah mengambil alih dunianya.
Mesin fotokopi di sudut kantor menjadi pelampiasan. Mesin fotokopi multi-fungsi itu di peluknya erat laiknya manusia. Teman sekantor yang melihat tingkah Dias menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang tersenyum sekilas seolah menganggap perbuatannya sungguh jenaka. Ada yang geleng-geleng kepala seolah menganggap Dias sudah tidak waras.
"Tuangala e! Apa yang kau lakukan, Dias?"
Martinus, lelaki Papua yang duduk bersebelahan dengan meja kerja Dias, terlihat kaget. Martinus yang lebih senang jika dipanggil Martin, menutup kedua mulutnya dengan telapak tangan. Ia melihat dengan jelas perlakuan tidak wajar dari rekan kerjanya itu.
Dias sadar. "Ada apa? Nengok gue kok nafsu begitu?"
Martin mengerutkan kening, bingung. "Lo tuh yang nafsu sama mesin fotokopi," ujarnya seraya berlalu kesal.
Dias kembali ke meja kerjanya seraya menatap teman-temannya malu. Semua penghuni ruangan mentapnya berbeda.
Dias menarik napas panjang, kemudian memperbaiki kerah kemejanya. Tidak sabar rasanya bertemu dengan Tante Nina malam ini.
***
Jam di dinding kamar Dias menunjukkan pukul sembilan tepat. Pemuda itu sudah bolak-balik melirik penampilannya di depan cermin. Selama dua jam ia membersihkan diri di kamar mandi--mengatakan selamat tinggal pada daki tebal yang telah bersarang di tubuhnya sekian lama.
Dias menyemprotkan parfum beraroma cekak di sekujur tubuhnya. Hampir separuh botol habis ia gunakan untuk mendapatkan aroma yang aduhai. Ia tidak ingin Tante Nina menghindar jauh darinya hanya karena aroma tubuhnya yang bisa buat muntah.
Pukul sembilan lewat sedikit, Renos dan Regi masuk ke dalam kamarnya. Kedua pemuda itu otomatis menutup hidung saat masuk. Aroma parfum Dias benar-benar membunuh hidung mereka.
"Wah! Sepertinya pangeran kita siap berkencan malam ini. Perlu juru kamera, enggak?" tanya Renos usil.
Dias menepis. "Tentu saja tidak. Keromantisan gue bisa berkurang jika ada orang lain yang hadir dalam kencan spesial kali ini," ucapnya berlagak sombong.
Regi mendengus kesal, "Gaya lo udah selangit aja. Jalanin aja dulu kencan pertama ini. Gue harap lo enggak dapat sial setelah itu," ketusnya.
"Doa lo jelek banget. Lo masih iri, ya?"
Regi tidak menjawab, pemuda itu justru pergi meninggalkan Dias dan Renos.
"Lo enggak usah peduliin Regi," ucap Renos.
"Sama sekali tidak. Dia hanya sedikit iri karena gue akhirnya bisa berkencan dengan Tante Nina," jawab Dias.
Renos manggut-manggut. "Kamu harus menceritakan detailnya setelah ini. Aku ingin membayangkan bagaimana akhirnya Tante Nina itu menyentuhmu. Atau bersentuhan dengan ku--"