Pagi hari tiba dan Regi sudah berdiri di depan pagar kos-kosan. Kebiasaan yang selama ini mereka jalani membuatnya lupa jika Dias telah memenangkan tantangan itu. Ia baru sadar ketika melihat Pak Broto sedang membersihkan rumput-rumput kecil yang tumbuh di halaman depan.
"Menunggu lagi?" tanya Pak Broto.
Regi terlihat celingukan. Ia seperti orang yang tertangkap basah sedang melakukan hal yang salah.
"Lihat Dias enggak, Pak?" tanya Regi.
Pak Broto mendekat. "Lah? Kok nanya saya, tho? Wong kalian satu tim, kan?"
Regi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ingin mengatakan kebenaran, namun ia malas mendengar ceramah panjang Pak Broto.
"Mau minum kopi?"tawar Pak Broto. Ucapan itu di luar ekspektasi Regi. Selama ini, ia mengenal pria tua itu sebagai sosok yang luarbiasa sarkastik. Semua tindakan mereka selalu saja salah di mata Pak Broto. Dan entah alasan apa, Pak Broto bahkan mengecam keinginan ketiga pemuda itu untuk dekat dengan Tante Nina.
Ucapan Pak Broto adalah sebuah keajaiban, dan tidak ada alasan bagi Regi untuk menolak semua hal baik. Ia tidak akan merasa dirugikan. Sama sekali tidak, kecuali Pak Broto memiliki niat lain.
Regi duduk di teras rumah Pak Broto. Ini pertama kali semenjak ia menghuni kos-kosan milik pria tua itu.
Mata Regi tertarik pada sesuatu yang teronggok di tempat sampah--di sudut halaman rumah Pak Broto. Sebuah kotak yang dilapisi plastik dari bagian luar terlihat mencolok dan hampir memuntahkan seluruh isi tong sampah karena kepenuhan.
Saat Regi berniat memeriksa, Pak Broto justru muncul dengan dua gelas kopi panas. Aromanya benar-benar membangkitkan minat air liur.
"Itu adalah paket berisi gincu merah. Saya juga heran, entah siapa yang mengirimnya. Semua orang tahu tidak ada perempuan yang tinggal di rumah saya," ungkap Pak Broto. Sepertinya lelaki itu tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Regi.
"Gincu?" tanya Regi mengulangi.
"Benar."
"Bagaimana jika paket itu salah alamat, Pak?"
"Saya sudah memastikannya," jawab Pak Broto. Pandangan matanya berpaling jauh.
Regi sudah mulai gelisah. Matahari sudah meninggi, namun Dias tak kunjung terlihat. Sembari Pak Broto bicara, mata Regi justru sibuk memeriksa sekitar.
"Pak, aku ingin memeriksa Dias sebentar ke kamarnya. Bisa?"
Pak Broto mengangguk.
Regi berjalan tergesa tanpa peduli lagi sekitar. Ia menggedor-gedor kamar Dias namun tidak mendapat jawaban. Saat ia menekan gagang pintu, ia sadar tidak ada siapa pun di sana.
Regi segera berlari ke kamar Renos. Jawaban serupa ia temukan di sana. Bodohnya ia ketika menyadari jika ini Minggu pagi, hari di mana semua orang bisa pergi ke mana saja sesuka hati mereka. Tidak terkecuali dengan Dias dan Renos. Ia kemudian kembali ke halaman dengan raut wajah bodoh.
"Ketemu?" tanya Pak Broto.
Raut wajah Regi mengatakan tidak. Terlihat dari rautnya yang memendam kecewa.
"Saya melihatnya tadi malam," ungkap Pak Broto.
Regi menoleh. "Di mana, Pak?"
"Di rumah sebelah. Jika dia tidak kembali sampai malam nanti, kamu harus segera melaporkannya pada saya," ucap Pak Broto, serius.
Regi terhenyak. Air liur dalam tenggorokannya kering rasanya saat menelan ucapan Pak Broto.