Rahasia Terdalam

Kalam Insan
Chapter #2

ARAH

ZAKI duduk diam di sudut ruangan, menatap layar komputernya yang memancarkan cahaya redup. Tumpukan kertas berserakan di mejanya, beberapa penuh coretan merah dari editor yang tak pernah puas, beberapa lainnya berupa berita yang terpotong-potong, tak pernah rampung. Di luar jendela kantor, gedung-gedung beton Jakarta berdiri kokoh, tak peduli pada gelisah yang merayap di dalam dirinya. Hingar bingar jalanan, deru kendaraan, dan suara klakson mengalun samar, seperti dengungan tanpa arah yang menambah sesak dalam batinnya.

“Zaki, mana revisi berita yang kemarin?” Suara ketus manajer redaksi, Pak Rafi, membuyarkan lamunannya. Tanpa menunggu jawaban, laki-laki paruh baya dengan rambut yang sudah mulai menipis itu melangkah cepat ke arahnya. Tangannya yang kekar meraih beberapa kertas di atas meja Zaki dan memeriksanya dengan wajah tanpa ekspresi.

Zaki menelan ludah, tangannya berkeringat. Berita yang disusun ulang setelah revisi berkali-kali itu terancam berakhir di tong sampah. Itu bukan pertama kalinya. Dia sudah tahu polanya. Pak Rafi akan mengernyitkan dahi, menunjuk beberapa paragraf dengan ujung pulpen, dan mulai melontarkan kritik yang terdengar lebih seperti cemoohan. Benar saja.

“Ini masih terlalu lembek. Kau menulis seperti mahasiswa yang baru belajar jurnalistik,” keluh Pak Rafi sambil melemparkan kertas-kertas itu kembali ke meja Zaki. “Di sini kita butuh berita yang tajam. Jangan ragu menyerang, jangan ragu membuat headline yang mengguncang.”

Zaki hanya mengangguk, tanpa sepatah kata pun. Seperti biasa, dia menahan perasaan terpojok yang muncul setiap kali Pak Rafi berbicara. Namun, dalam hatinya, ada gelombang pemberontakan yang semakin besar. Apa yang disebut "berita tajam" oleh Pak Rafi sering kali hanya sekadar gosip yang dibungkus dengan drama atau kisah yang diolah menjadi sensasi demi klik dan penjualan. Nilai-nilai idealisme yang ia bawa saat pertama kali menjejakkan kaki di ruangan ini perlahan-lahan hancur.

Dalam pikiran Zaki, dunia jurnalistik yang diimpikan sejak ia duduk di bangku kuliah adalah dunia yang penuh integritas, di mana kebenaran lebih penting dari sekadar angka pembaca. Ia pernah membayangkan akan menulis artikel-artikel mendalam tentang ketidakadilan sosial, tentang mereka yang tidak memiliki suara, tentang fakta-fakta yang selama ini terabaikan oleh media arus utama. Namun, kenyataannya berbeda. Apa yang diminta dari dirinya hanyalah hiburan yang dibalut dalam kemasan berita.

Waktu semakin bergulir, dan jam menunjukkan sudah lewat dari pukul delapan malam. Hampir semua meja di kantor sudah kosong, hanya tinggal beberapa jurnalis yang juga tenggelam dalam pekerjaannya, serta Pak Rafi yang masih sibuk mengamati layar komputernya. Zaki merasa muak. Di balik rasa bosan yang menumpuk, ada rasa frustrasi yang menekan dadanya semakin kuat.

Dia meraih cangkir kopi yang sudah dingin di sebelah keyboard dan menyesapnya sedikit. Pahit, hampir basi. Sama seperti pekerjaannya. Sama seperti harapan-harapannya yang terus tergerus waktu.

"Ini bukan yang aku mau," pikir Zaki, sambil memandang sejenak layar di depannya. Judul berita yang sedang ia ketik tampak mengambang di dalam pikirannya: “Kebijakan Baru Pemda: Rencana Pembangunan Mall di Kawasan Hijau Menuai Kontroversi.” Berita itu tidak lebih dari sekadar laporan permukaan, tidak ada kedalaman, tidak ada ruh. Hanya angka-angka statistik dan kutipan pejabat yang selalu terdengar sama di setiap artikel yang ia tulis. Kritik? Sudah dimoderasi dan dihaluskan sampai hambar.

Tiba-tiba, ia merasakan dorongan kuat untuk bangkit dan pergi. Ia sudah muak dengan semua ini—politik kantor, tekanan dari atasan, ketidakmampuan dirinya sendiri untuk menulis sesuatu yang berarti. Ini bukan alasan ia menjadi jurnalis. Tapi di sudut pikirannya, ia sadar betapa sulitnya keluar dari roda yang telah membelitnya ini.

Zaki meraih jaketnya, menariknya dengan kasar, dan berdiri. Tanpa banyak bicara, ia meninggalkan mejanya, berjalan melewati ruang-ruang kantor yang semakin sunyi. Beberapa rekannya melirik dari balik layar komputer, tetapi tidak ada yang bertanya atau menegur. Mungkin mereka juga tahu perasaan yang sama—perasaan hampa yang kini menyelimuti Zaki.

Keluar dari gedung kantor, udara malam Jakarta menyentuh kulitnya, sedikit menyegarkan, tapi tak cukup untuk mengusir gelisah yang semakin tebal. Ia berjalan tanpa arah, melewati kerumunan orang-orang yang tampak begitu sibuk dengan hidup mereka masing-masing. Mobil-mobil berlalu-lalang, lampu-lampu jalan bersinar terang, namun semua itu terasa jauh, seperti berada di dimensi lain.

Zaki menatap langit malam, tanpa bintang. Ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang dulu sangat jelas namun kini terasa semakin kabur. Seperti kabut yang menutupi pandangan, menggantung di udara tanpa tanda-tanda akan segera menghilang. "Apa aku harus terus begini?" pikirnya, menimbang-nimbang dalam diam. "Atau... haruskah aku meninggalkan semuanya?"

Pertanyaan itu menggema dalam hatinya, tanpa jawaban. Seperti jalanan malam ini, kehidupannya tampak terbentang panjang, namun ia tak tahu kemana arahnya.

---

Pagi itu, Zaki terbangun dengan bunyi dering ponsel yang menusuk di tengah keheningan. Matanya yang masih berat terbuka perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang tembus dari celah tirai kamar. Dering telepon terus melengking, seolah-olah mendesak, memaksa dirinya untuk segera mengangkat.

Ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, meraih ponsel dengan tangan gemetar setengah sadar. Nama “Pak Udin” muncul di layar. Paman jauhnya dari kampung. Zaki merasakan firasat aneh sebelum ia menjawab panggilan itu.

“Halo...?” suaranya terdengar serak, belum sepenuhnya bangun.

Suara di seberang terdengar berat dan penuh dengan jeda yang tak nyaman. “Zaki… Nenekmu… sudah pergi. Tadi malam...”

Seketika, Zaki terdiam. Kata-kata itu melesak ke dalam dirinya, seolah-olah mengunci semua suara dan pikiran. Dunia di sekitarnya mendadak bisu. Udara yang tadi terasa ringan tiba-tiba menekan dadanya. Matanya masih terpaku pada layar ponsel, tetapi pandangannya buram, suaranya tercekat di tenggorokan.

“Nenek…” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya, setengah berbisik.

Pak Udin di seberang telepon melanjutkan, “Kami sudah urus semuanya di sini. Nenekmu akan dimakamkan sore ini. Kamu... bisa datang, kan?”

Zaki menggenggam ponsel lebih erat. Ia tak bisa berkata-kata, hanya mengangguk meski Pak Udin tak bisa melihatnya. Detik-detik berikutnya berlalu tanpa ia sadari. Telepon diputus, tetapi Zaki masih terduduk di tepi ranjang, ponsel tergenggam di tangannya yang kini terasa dingin.

Nenek. Satu-satunya keluarga yang tersisa.

Perasaan itu datang dalam bentuk hampa. Tak ada tangisan, tak ada gejolak emosi yang meledak-ledak. Hanya kekosongan yang memenuhi dirinya. Rumah masa kecilnya, tempat di mana nenek merawatnya setelah kematian orang tuanya, kini terasa begitu jauh. Bagaimana bisa? Nenek, yang selalu ada untuknya, kini benar-benar pergi.

Ia mencoba bangkit, berjalan ke kamar mandi dengan langkah tertatih, membasuh wajahnya yang tampak lebih tua dari seharusnya. Di depan cermin, Zaki menatap dirinya sendiri. Mata yang lelah, rambut yang acak-acakan, dan wajah yang penuh kebingungan. Bagian dari dirinya seolah belum sepenuhnya percaya bahwa orang terakhir yang ia anggap keluarga kini sudah tiada.

Setelah menyiapkan diri seadanya, Zaki berkemas cepat, memasukkan beberapa pakaian dan barang ke dalam ransel. Pikirannya melayang ke perjalanan yang akan segera ia tempuh. Kembali ke kota pesisir kecil yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu, tempat di mana seluruh kenangan masa kecilnya tersimpan. Tempat yang penuh dengan kebisingan laut dan angin yang membawa aroma asin, di mana rumah kayu neneknya berdiri tenang menghadap deburan ombak.

Kota itu dulu terasa seperti dunia yang kecil, tetapi aman. Kota yang membuatnya merasa terlindungi, meski kesedihan atas kehilangan orang tuanya masih menggantung seperti bayangan kelabu di benaknya. Nenek adalah jangkar bagi hidupnya. Setelah kepergian orang tua, Zaki selalu merasa bahwa nenek adalah satu-satunya tali yang mengikatnya pada dunia ini. Kini, tali itu pun terputus.

Perjalanan menuju kampung halamannya terasa panjang dan sunyi. Setiap kilometer yang dilewatinya membawa memori baru yang muncul tanpa permisi. Hutan-hutan kecil yang dulu ia lewati dengan sepeda motor tuanya, suara burung yang menggema di kejauhan, aroma tanah basah setelah hujan turun—semuanya mengantarnya pada satu tujuan yang kini tak lagi sama. Nenek tidak akan ada di sana untuk menyambutnya, tidak ada lagi suara lembut yang memanggilnya "Nak" dengan penuh kasih sayang.

Sampai di kota pesisir itu, suasana terasa aneh. Langit tampak mendung, seolah turut berduka. Zaki melangkah pelan melewati jalanan berdebu yang mengarah ke rumah neneknya. Rumah kayu itu tampak usang, seperti sudah lama ditinggalkan, meskipun nenek baru meninggal tadi malam. Seiring langkah kakinya mendekat, suara ombak yang memecah di kejauhan terdengar lebih keras, seperti panggilan dari laut yang tak terhindarkan.

Pintu rumah itu terbuka, dan Pak Udin menyambutnya dengan anggukan pelan. Matanya yang keriput menunjukkan kesedihan yang dalam. “Sudah di dalam,” katanya singkat.

Zaki mengangguk tanpa berkata-kata, dan melangkah masuk ke rumah itu. Bau khas rumah nenek masih tercium, campuran wangi kayu tua dan masakan yang pernah memenuhi dapur kecil di belakang. Namun, kini rumah itu terasa kosong, seolah-olah semua yang hidup di dalamnya ikut pergi bersama nenek.

Di ruang tengah, terbaringlah neneknya, dalam tenang yang abadi. Wajahnya tampak damai, seakan tidur nyenyak setelah lelah menjalani kehidupan. Zaki mendekat, berlutut di samping tubuh yang pernah memberikan kehangatan dan perlindungan. Air mata yang tertahan sejak pagi mulai mengalir pelan, tetapi tak ada isak tangis. Hanya hening.

Kepergian nenek meninggalkan lubang yang tak mungkin diisi oleh siapa pun. Dan di balik semua kesedihan yang ia rasakan, Zaki tahu satu hal: rumah ini, kota pesisir kecil ini, kini adalah satu-satunya yang menghubungkan dirinya dengan masa lalu. Kini, ia benar-benar sendiri, dan hidupnya yang kosong di Jakarta tiba-tiba terasa semakin hampa tanpa ada tempat untuk kembali.

Sore itu, Zaki berdiri di pemakaman kecil di atas bukit, menatap pusara neneknya yang baru ditutup tanah. Angin laut bertiup kencang, membawa pasir dan suara ombak yang menghantam karang di kejauhan. Mata Zaki terus menatap batu nisan sederhana yang tertancap di tanah, sementara pikirannya melayang, memikirkan apa yang akan datang setelah ini.

---

Langit mulai berubah warna menjadi jingga ketika Zaki duduk di depan rumah peninggalan neneknya. Angin laut yang lembab membawa bau asin yang khas, menyelusup di antara rambutnya yang berantakan. Rumah kayu tua itu masih berdiri tegak, meskipun kini tampak lebih rapuh, seperti dirinya. Setiap sudut rumah ini membawa ingatan yang menggantung—beberapa hangat, tetapi sebagian besar suram dan berat.

Seharian penuh, Zaki sibuk membereskan barang-barang yang masih tersisa. Kemeja-kemeja tua, selimut yang sudah memudar warnanya, dan perabotan yang dulu selalu dirawat oleh neneknya kini teronggok di sudut ruangan, ditutupi debu dan waktu yang tak berbelas kasih. Ruangan-ruangan di rumah itu masih terasa sama—sunyi dan penuh kenangan yang tak bisa ia elakkan. Meski begitu, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada ruang kosong yang sangat terasa, seolah kepergian nenek membawa serta bagian penting dari rumah itu.

Zaki melangkah masuk ke dalam kamar yang dulu menjadi ruang penyimpanan keluarga. Rak kayu yang dipenuhi buku-buku lama, beberapa di antaranya sudah lapuk, berdiri kokoh di dinding yang menghadap jendela kecil. Pandangannya menyapu perlahan, tak berharap menemukan apa-apa yang istimewa. Namun, matanya berhenti pada sebuah kotak kayu tua yang tersembunyi di sudut rak, setengah tertutup oleh tumpukan buku lusuh.

Ia mendekat, meraih kotak itu dengan hati-hati, seolah khawatir akan merusaknya. Kotak itu tampak sederhana, tanpa hiasan apa pun kecuali ukiran kecil di tutupnya, nyaris tak terlihat. Dengan jemarinya yang gemetar, Zaki membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa benda: sebuah jam tangan tua yang sudah berhenti berdetak, surat-surat yang diikat dengan pita merah yang sudah usang, dan... sebuah buku jurnal tebal yang kulitnya sudah menghitam termakan usia.

Jantung Zaki berdegup lebih cepat saat ia meraih jurnal itu. Tangannya merasakan tekstur kulit yang kasar dan lembab, mungkin karena udara pesisir yang tak ramah pada benda-benda tua. Ia membuka halaman pertama, dengan nama yang tertulis di sana dalam tulisan tangan yang tegas: H. M. Syarifudin, 1949.

Kakeknya.

Zaki menahan napas sejenak. Nama itu, yang selama ini hanya terukir samar di ingatannya, kini terasa begitu nyata. Kakeknya, yang tidak banyak ia kenal, kecuali dari cerita-cerita nenek yang sering terputus dan tak banyak detail. Kakeknya, yang kabarnya dulu adalah seorang pelaut yang penuh rahasia, yang meninggal ketika Zaki masih kecil. Nenek jarang membicarakan kakek, seolah ada hal-hal yang tak ingin dibuka dari masa lalu mereka.

Zaki membalik halaman-halaman awal jurnal itu. Isinya penuh dengan catatan harian, beberapa dalam bentuk kalimat pendek, dan yang lain berupa paragraf panjang yang terkesan puitis. Kakeknya menulis tentang laut, tentang perjalanan-perjalanan panjangnya mengarungi samudra, dan juga tentang sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih gelap, lebih misterius.

Beberapa halaman berikutnya dipenuhi dengan sketsa-sketsa kasar dari kapal, peta, dan simbol-simbol yang tak ia pahami. Namun, yang paling membuat Zaki tercengang adalah tulisan-tulisan yang semakin lama semakin terlihat kacau, seperti seseorang yang menulis di bawah tekanan atau ketakutan besar. Salah satu kalimat yang tertulis di halaman tengah jurnal itu membuat Zaki berhenti sejenak, bulu kuduknya meremang:

"Ada sesuatu di laut ini yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sesuatu yang kita tak pernah siap untuk hadapi. Laut menyimpan rahasia yang seharusnya tak pernah terungkap."

Zaki merasakan udara di sekitarnya berubah dingin. Jantungnya berdegup kencang saat membaca kalimat itu. Ia mencoba mencari konteks lebih jauh, tetapi semakin banyak ia membaca, semakin sedikit yang bisa ia pahami. Kakeknya menulis tentang perjalanan ke beberapa kota pesisir, tentang kapal-kapal tua yang karam, dan tentang sebuah harta karun yang terdengar seperti legenda. Ada nama-nama tempat yang terasa asing, tetapi sebagian darinya mengingatkan Zaki pada cerita-cerita pelaut tua yang pernah ia dengar saat kecil—kisah-kisah tentang kapal kolonial yang hilang di laut selatan, membawa muatan emas dan barang-barang berharga yang tak pernah ditemukan kembali.

Di salah satu halaman terakhir, Zaki menemukan sebuah peta kasar yang menggambarkan perairan di sekitar kota pesisir ini. Sebuah tanda X besar dilingkari dengan tinta tebal di titik tertentu di laut. Di bawahnya tertulis satu kata: “Amanat”.

Zaki terdiam, memandang peta itu. Pikirannya mulai berputar-putar, bertanya-tanya apa yang sebenarnya kakeknya temukan. Apakah ini hanya obsesi seorang pelaut tua yang lelah dengan hidupnya, atau ada sesuatu yang nyata di balik cerita-cerita ini? "Amanat," kata itu terus mengiang-ngiang di kepalanya, seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata.

Sambil terbenam dalam lamunan, Zaki menutup jurnal itu dengan hati-hati. Firasat aneh menyelinap ke dalam dirinya—seolah ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang menunggu untuk ditemukan. Dan entah mengapa, ia merasakan dorongan kuat untuk menggali lebih dalam.

Malam makin larut, tetapi pikiran Zaki tak mampu berhenti. Ia tahu, hidupnya di Jakarta penuh kebingungan dan kesia-siaan. Namun, di sini, di rumah tua neneknya, ada sesuatu yang memanggilnya. Jurnal kakeknya membawa pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Zaki merasakan semangat yang pernah ia kenal dulu—semangat untuk mencari kebenaran, meski itu berarti menggali masa lalu yang mungkin sebaiknya tetap terkubur.

---

Zaki memandangi jurnal di tangannya. Sudah lewat tengah malam, tetapi kantuk tidak juga menghampirinya. Cahaya lampu di ruang tamu rumah nenek masih menyala redup, menerangi halaman-halaman jurnal yang mulai mengungkap masa lalu yang tak pernah diceritakan oleh neneknya. Ia membuka lembaran yang penuh dengan catatan yang kian hari makin terasa asing. Pada bagian yang lebih tua dan rapuh, catatan kakeknya berubah, bukan lagi tentang laut dan peta-peta misterius, tetapi tentang perjuangan yang jauh lebih besar—perjuangan untuk kemerdekaan.

Kakek Zaki, yang selama ini hanya ia kenal sebagai seorang pelaut dan lelaki pendiam, ternyata menyimpan rahasia yang lebih dalam. Jurnal ini mengungkapkan bahwa kakeknya, Syarifudin, dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan. Nama yang disebut-sebut dalam jurnal adalah "Syarif," tokoh yang tidak pernah muncul dalam buku-buku sejarah, tetapi dari catatan ini, Zaki merasakan keberanian yang luar biasa. Syarifudin menulis tentang pertemuan-pertemuan rahasia di rumah-rumah kayu di sepanjang pesisir, tentang strategi-strategi yang mereka susun dengan alat komunikasi seadanya, dan tentang orang-orang yang dipilih dengan sangat hati-hati, karena setiap langkah salah bisa berarti kematian.

Di sebuah halaman, kakeknya bercerita tentang persiapan yang dilakukan oleh kelompok kecil di bawah tanah, yang tak terhubung langsung dengan pusat perjuangan di Jakarta. Mereka adalah jaringan yang bekerja diam-diam, bertindak di bawah bayang-bayang penjajahan, memanfaatkan keahlian mereka sebagai pelaut untuk menyelundupkan senjata, peralatan, dan informasi dari satu kota ke kota lain. Syarifudin menggambarkan dirinya sebagai bagian dari kelompok yang berjuang di antara laut dan daratan, jauh dari sorotan media atau pengakuan resmi.

Tulisan di jurnal itu menceritakan banyak hal yang membuat Zaki semakin tenggelam dalam alur sejarah yang tak pernah ia dengar dari neneknya. Di salah satu halaman, kakeknya menulis tentang sebuah pertempuran kecil di salah satu desa pesisir yang kini tampak begitu sunyi, jauh dari riuh peradaban. Dalam catatan itu, Syarifudin menceritakan tentang malam di mana ia dan beberapa rekannya harus menghadapi patroli tentara Jepang yang mendadak datang ke desa mereka. “Malam itu laut tak tenang, angin kencang seakan memberi tanda,” tulis kakeknya, mengisyaratkan bahwa alam seolah ikut bersekutu dengan mereka. Pertempuran itu berakhir dengan kekalahan kecil di pihak Jepang, tetapi juga kehilangan di pihak pejuang.

Lihat selengkapnya