ZAKI duduk di sebuah kedai kopi tua, tak jauh dari pelabuhan kecil di kota pesisir itu. Udara sore terasa hangat dan lembap, namun ada beban di pikirannya yang tak kunjung surut. Jurnal kakeknya masih tersimpan rapi di tas, tapi halaman-halaman terakhir yang ia baca tentang Batas Gelap terus berputar dalam benaknya. Ia perlu jawaban. Mitos, misteri, sejarah—semuanya seakan saling tumpang tindih, menciptakan labirin di mana kakeknya menghilang dan tak pernah ditemukan.
Ketika Zaki mulai menelusuri jejak kakeknya lebih jauh, ia mendengar tentang seorang wanita yang konon memiliki kemampuan khusus—kemampuan membaca benda-benda tua. Orang-orang menyebutnya Alina. Namanya dibicarakan dengan bisik-bisik, seolah ia bagian dari rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Di kota kecil ini, di mana legenda sering bercampur dengan kenyataan, Zaki merasa tak punya pilihan lain selain mencarinya.
Kedai itu mulai ramai. Para nelayan yang baru pulang dari laut memenuhi bangku-bangku kayu, berbincang dengan suara keras, membiarkan aroma asin laut bercampur dengan bau kopi hitam pekat. Zaki mengamati sekelilingnya, mencari tanda-tanda dari orang yang ia cari. Tak lama kemudian, seorang wanita masuk, tampak berbeda dari kebanyakan orang di sekitar. Ia mengenakan pakaian sederhana, tapi ada sesuatu tentang tatapan matanya—begitu dalam dan tak terduga—yang membuat Zaki tahu bahwa inilah orang yang ia cari.
Alina. Wanita itu melangkah dengan tenang menuju meja di sudut, tak jauh dari tempat Zaki duduk. Dia tidak membawa apa-apa, kecuali dirinya sendiri dan aura misterius yang menyelimutinya. Zaki berdiri, berjalan pelan menghampirinya, merasa sedikit ragu.
"Alina?" tanyanya.
Wanita itu mengangkat wajahnya, menatap Zaki dengan mata cokelat gelap yang seolah bisa menembus pikiran orang di depannya. Sekilas, Zaki merasa tatapannya begitu tajam, namun dalam sepersekian detik, Alina tersenyum tipis, seolah ia sudah tahu siapa Zaki sebelum pria itu berbicara.
"Zaki, ya?" Alina menjawab tanpa ragu. “Aku sudah mendengar tentangmu.”
Zaki tertegun. "Dari siapa?"
Alina tidak menjawab langsung. Ia hanya mengisyaratkan Zaki untuk duduk di depannya. “Aku tahu kamu sedang mencari sesuatu yang tak biasa. Sesuatu yang tak banyak orang mengerti.”
Zaki mengangguk, tak lagi bisa menyembunyikan keheranannya. Dia membuka tasnya, mengeluarkan jurnal tua kakeknya, lalu meletakkannya di atas meja. “Aku menemukannya di rumah nenekku. Ini milik kakekku. Ada banyak hal aneh yang tertulis di sini… terutama tentang Batas Gelap.”
Tatapan Alina berubah. Matanya menelusuri sampul jurnal itu, seakan membaca sesuatu yang tak terlihat oleh Zaki. Ia menyentuhnya dengan jemari yang ramping, menutup mata sejenak, seolah merasakan energi yang memancar dari benda itu.
“Ada jejak,” gumam Alina, suaranya hampir seperti bisikan. “Jejak orang-orang yang pernah menyentuh jurnal ini… orang yang memiliki hubungan mendalam dengan laut dan kematian.”
Zaki merasakan dadanya berdesir. Kata-kata Alina membuat seluruh tubuhnya tegang, meski ia berusaha tetap tenang. “Kakekku hilang di laut. Tidak pernah ditemukan,” ujar Zaki pelan. “Aku mencoba mengerti apa yang sebenarnya terjadi… mengapa dia menghilang.”
Alina membuka matanya, lalu menatap Zaki dalam-dalam. “Laut menyimpan banyak rahasia, Zaki. Tidak semua bisa dijelaskan oleh logika kita. Tapi benda-benda tua seperti jurnal ini bisa menyimpan energi dari masa lalu, peristiwa yang tidak pernah diceritakan secara langsung.”
“Apa maksudmu?” tanya Zaki, bingung namun penasaran.
Alina menarik napas panjang, menyiapkan dirinya untuk bicara lebih banyak. “Kakekmu tidak hanya melawan penjajah. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertempuran politik atau kemerdekaan. Laut ini… lautan yang kita pandang setiap hari… adalah sesuatu yang lebih hidup daripada yang kita tahu. Kakekmu mungkin menemukan sesuatu yang tersembunyi di sana, dan Batas Gelap itu bukan sekadar cerita rakyat.”
Zaki ingin bertanya lebih jauh, tapi Alina memotongnya. “Aku bisa membantumu, Zaki. Tapi ini tidak akan mudah. Apa yang kamu cari tidak hanya melibatkan masa lalu keluargamu, tetapi juga rahasia yang selama ini disembunyikan oleh lautan ini.”
Zaki terdiam. Ia sudah jauh terlalu dalam untuk mundur. Seluruh hidupnya di kota besar, bekerja sebagai jurnalis yang selalu berhadapan dengan fakta, seolah kehilangan makna saat ia mendengar cerita-cerita ganjil ini. Tapi ada sesuatu dalam diri Alina—cara dia bicara, cara dia menyentuh jurnal itu—yang membuat Zaki percaya bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk menemukan kebenaran tentang kakeknya.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Zaki akhirnya, menyerahkan dirinya pada kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
Alina menatapnya sejenak, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, “Kita harus kembali ke laut itu. Tapi bukan untuk melihatnya dari permukaan. Kita harus masuk lebih dalam—menyelami misteri yang disimpan oleh lautan dan benda-benda yang tenggelam di dalamnya.”
Zaki merasa sesuatu dalam dirinya bergetar. Di satu sisi, ada ketakutan yang tumbuh, tapi di sisi lain, ada dorongan yang tak bisa ia abaikan. “Kapan kita mulai?”
Alina tersenyum kecil. “Segera. Lautan ini tidak sabar menunggu lebih lama lagi.”
---
Di dalam ruangan sempit yang diterangi hanya oleh cahaya lampu minyak, Zaki dan Alina duduk berhadapan. Jurnal kakek Zaki terbuka di antara mereka, namun kini bukan hanya sekadar sebuah buku tua lagi—itu telah menjadi jalan masuk menuju sejarah kelam yang tersimpan rapi selama bertahun-tahun. Alina menyentuh halaman-halaman jurnal dengan jemarinya yang halus, seolah merasakan jejak-jejak masa lalu yang tertinggal di antara lembaran kertas yang rapuh.
“Aku bisa membaca benda-benda tua,” kata Alina, suaranya hampir seperti bisikan. “Tapi bukan membaca dalam arti seperti membaca buku. Benda-benda ini menyimpan energi, memori dari masa lalu. Aku bisa merasakannya, menarik kembali apa yang pernah terjadi. Namun, tidak selalu jelas. Terkadang, butuh waktu, butuh hubungan yang kuat dengan benda itu.”
Zaki menatapnya dengan rasa ingin tahu, tapi juga penuh keraguan. “Bagaimana kau melakukannya? Bagaimana kau bisa tahu semua ini hanya dari menyentuh benda?”
Alina tersenyum tipis, tatapannya penuh keyakinan. “Kemampuan ini sudah ada di keluargaku selama beberapa generasi. Nenekku juga bisa melakukannya, dan aku belajar dari dia. Tapi tidak semua benda bisa ‘berbicara’. Hanya yang memiliki sejarah kuat, yang terikat dengan peristiwa besar atau orang-orang penting. Seperti jurnal ini.” Ia menunjuk buku di depan mereka. “Ini bukan hanya tulisan kakekmu. Ini adalah potongan dari hidupnya, dari pikirannya. Semua kenangan dan rahasianya, ada di sini.”
Zaki terdiam, mencoba mencerna semua yang dikatakan Alina. Ia tidak pernah membayangkan bahwa benda-benda mati bisa memiliki kehidupan sendiri, menyimpan cerita-cerita yang tak pernah terungkap. Tapi, setelah semua yang ia lihat dan rasakan sejak kembali ke kota ini, ia mulai membuka pikirannya pada hal-hal yang sebelumnya tak masuk akal.
“Aku ingin tahu lebih banyak,” kata Zaki akhirnya. “Tentang kakekku, tentang hilangnya dia, dan tentang Batas Gelap.”
Alina mengangguk pelan. “Aku akan membantumu, tapi kita harus melakukannya dengan hati-hati. Setiap benda memiliki caranya sendiri untuk membuka diri. Aku akan mulai dengan jurnal ini. Namun, ada benda lain yang juga penting. Apakah kamu memiliki barang-barang lain yang berasal dari keluargamu? Sesuatu yang bisa memberiku lebih banyak petunjuk?”
Zaki terdiam sesaat, mengingat-ingat. Di rumah neneknya yang penuh dengan kenangan masa lalu, pasti ada banyak benda yang mungkin terkait dengan sejarah keluarganya. Namun, ada satu hal yang tiba-tiba melintas di pikirannya.
“Ada kalung tua. Kalung itu selalu dipakai oleh nenekku. Dia bilang itu pemberian kakekku sebelum mereka menikah.”
Mata Alina berbinar seketika. “Kalung itu bisa menjadi kunci. Jika benda itu begitu penting bagi nenekmu, maka pasti ada energi yang tersimpan di sana. Sesuatu yang bisa membantuku menggali lebih dalam tentang hubungan kakek dan nenekmu.”
Zaki merasa darahnya berdesir, antara penasaran dan gugup. Semua ini terasa begitu asing baginya, tapi dia tahu ini adalah satu-satunya jalan untuk menemukan jawaban. “Aku akan membawanya besok,” ujarnya mantap.
________________________________________
Malam semakin malam saat Zaki berjalan kembali ke rumah peninggalan neneknya. Di sepanjang jalan, suara ombak yang pecah di pantai terdengar jelas, seakan membisikkan rahasia-rahasia yang terpendam di dalam lautan. Setibanya di rumah, Zaki langsung masuk ke dalam kamar neneknya yang sudah lama tak tersentuh. Ruangan itu masih tercium wangi yang familiar, campuran antara bunga melati dan kayu tua.
Zaki membuka laci kecil di samping tempat tidur, tempat neneknya biasa menyimpan barang-barang berharganya. Di sana, tersimpan sebuah kotak kayu kecil yang berdebu. Dengan hati-hati, Zaki membukanya. Di dalamnya, ia menemukan kalung tua yang terbuat dari emas, dengan liontin berbentuk segitiga yang sederhana, namun memancarkan kehangatan aneh saat disentuh. Liontin itu tampak usang, tapi kilau emasnya masih bertahan.
Kalung itu begitu penting bagi neneknya. Zaki ingat bagaimana neneknya selalu mengenakannya, bahkan sampai akhir hayatnya. Dan sekarang, benda ini menjadi petunjuk penting dalam perjalanannya mencari jawaban tentang kakeknya.
Dengan perasaan berat namun penuh harapan, Zaki membawa kalung itu ke kamar tamu, meletakkannya di atas meja di samping jurnal kakeknya. Ia duduk diam di kursi kayu yang keras, memandangi kedua benda tersebut, sambil membiarkan pikirannya berkelana ke masa lalu.
Apakah kakeknya menyembunyikan sesuatu di balik semua ini? Atau mungkin ada rahasia yang lebih besar—sesuatu yang selama ini tersembunyi di dalam kegelapan laut dan sejarah keluarga mereka? Zaki belum tahu jawabannya, tapi ia merasakan bahwa malam-malam berikutnya akan membawa dia lebih dalam, bukan hanya ke dalam sejarah keluarganya, tetapi juga ke misteri besar yang tak pernah ia duga sebelumnya.
________________________________________
Keesokan harinya, Zaki kembali menemui Alina, membawa kalung tua yang ia temukan. Di kedai yang sama, Alina menunggu dengan tatapan penuh keyakinan, siap untuk membantu Zaki melangkah lebih jauh dalam pencarian ini. Kalung itu ia pegang dengan lembut, seolah bisa merasakan beban emosional yang melekat padanya.
“Kalung ini menyimpan banyak cerita,” kata Alina pelan. “Aku akan membantumu menemukannya.”
Zaki mengangguk. Ia tahu bahwa apa yang akan datang bukan hanya sekadar membuka lembaran masa lalu, tetapi juga mengungkapkan sesuatu yang mungkin selama ini sengaja disembunyikan.
---
Zaki dan Alina berdiri di depan gedung tua, sebuah bangunan yang tampak lelah ditelan waktu. Cat di dindingnya sudah mulai mengelupas, sementara jendela-jendela kaca besar yang dulunya memancarkan keanggunan kini tampak buram dan ditutupi debu. Gedung ini adalah Arsip Sejarah Kota, tempat di mana sejarah panjang kota pesisir ini disimpan dan dilupakan oleh banyak orang. Namun, bagi Zaki, tempat ini adalah langkah pertama untuk mengungkap kebenaran yang terkubur bersama jejak kakeknya.
“Aku tak pernah mengira kota kecil ini punya arsip seperti ini,” kata Zaki, matanya menelusuri tiap sudut bangunan. “Aku bahkan tidak pernah mendengar orang membicarakannya.”
Alina tersenyum tipis. “Sejarah selalu disimpan di tempat-tempat yang tidak mencolok. Dan seperti benda-benda tua yang aku baca, banyak dari sejarah ini yang tidak ingin ditemukan dengan mudah.”
Zaki menarik napas panjang sebelum mereka melangkah masuk ke dalam. Di dalam, suasana sunyi menyelimuti. Langit-langit yang tinggi menciptakan gema dari setiap langkah mereka, dan aroma buku-buku tua memenuhi udara. Lemari-lemari kayu besar berjajar rapi, menyimpan ribuan dokumen, peta, dan arsip lainnya yang tersembunyi dari mata dunia. Alina berjalan di depan, tangannya menyentuh rak-rak arsip dengan keakraban yang menenangkan Zaki. Baginya, ini adalah tempat di mana benda-benda mati dapat bersuara, dan dia tahu harus mulai dari mana.
Zaki teringat jurnal kakeknya—semua catatan tentang pergerakan bawah tanah, tentang kawan-kawan yang hilang, dan tentang Batas Gelap. Di suatu tempat di sini, mungkin ada potongan-potongan informasi yang bisa melengkapi teka-teki tersebut.
“Kita harus mencari dokumen terkait pergerakan di tahun-tahun menjelang proklamasi,” ujar Alina, menatap Zaki dengan tatapan penuh keyakinan. “Kakekmu pasti terlibat dalam sesuatu yang lebih besar daripada yang terlihat di permukaan.”
Zaki mengangguk setuju, meskipun dalam hatinya masih terselip keraguan. Selama ini, ia hanya mengenal kakeknya dari cerita neneknya—seorang pria biasa yang mencintai keluarganya dan, seperti banyak orang pada masanya, ikut berjuang untuk kemerdekaan. Namun, jurnal yang ia temukan dan kalung tua yang diberikan kakeknya kepada neneknya telah mengubah pandangan itu.
Mereka mulai menelusuri satu per satu arsip. Zaki membuka lembaran dokumen-dokumen kuno yang sudah hampir hancur oleh waktu. Nama-nama, tanggal, dan lokasi tercatat dalam tulisan tangan yang kasar, seperti sebuah potongan puzzle yang tersebar. Zaki merasa sedikit frustrasi. Sejarah ini begitu padat, dan sebagian besar tidak relevan dengan pencariannya.
“Ini terlalu luas,” gumam Zaki pelan. “Bagaimana kita bisa menemukan apa yang kita cari di antara semua ini?”
Alina berhenti sejenak, lalu menatap Zaki dengan senyum simpul. “Benda-benda akan memanggil kita jika kita mendengarkan dengan baik. Kadang, kita hanya perlu mempercayai insting.”
Insting. Kata itu terdengar asing bagi Zaki yang terbiasa dengan fakta dan bukti sebagai seorang jurnalis. Namun, Alina memiliki cara berpikir yang berbeda, cara yang membuatnya tak ragu menyelami misteri yang tak kasat mata.
________________________________________
Setelah berjam-jam menelusuri arsip tanpa hasil konkret, Zaki merasa kelelahan. Ia berjalan ke arah meja besar di sudut ruangan, di mana beberapa peta tua terbuka. Alina masih tekun menelusuri lemari arsip, matanya memindai cepat setiap dokumen yang ia sentuh. Zaki mengambil sebuah peta dari salah satu meja, melihatnya dengan cermat. Itu adalah peta kota pesisir ini, namun dari beberapa dekade lalu—jalan-jalan sempit yang kini telah menjadi besar, dan area-area hutan yang kini menjadi perumahan.
Saat meneliti lebih dekat, matanya tertuju pada sebuah titik di tepi peta. Sebuah tanda kecil, yang ditulis dengan tinta merah tua, menunjukkan sesuatu di dekat pantai. Nama itu—“Pulau Jangkar”—seketika memicu ingatan. Dalam jurnal kakeknya, pulau itu beberapa kali disebutkan, terutama dalam kaitannya dengan hilangnya beberapa pejuang.
“Alina,” panggil Zaki, suaranya bergetar. “Aku menemukan sesuatu.”
Alina mendekat, menatap peta di tangan Zaki. “Pulau Jangkar,” gumamnya. “Itu bukan tempat yang sering disebut dalam catatan resmi.”
Zaki mengangguk, merasa jantungnya berdegup cepat. “Pulau ini muncul beberapa kali di jurnal kakekku. Dia menulis tentang beberapa pertemuan rahasia di sana… dan hilangnya pejuang-pejuang yang terlibat.”
Alina meraih peta itu, mempelajarinya dengan lebih saksama. “Pulau ini mungkin menjadi salah satu petunjuk kunci. Kita harus memeriksa lebih lanjut catatan terkait tempat ini. Bisa jadi, ada lebih banyak rahasia yang tersimpan di balik lokasi ini.”
Dengan penuh semangat baru, mereka berdua segera melanjutkan pencarian mereka, kali ini dengan fokus yang lebih tajam. Mereka membuka kembali arsip-arsip tentang pulau tersebut, mencari informasi lebih lanjut mengenai pergerakan bawah tanah yang pernah terjadi di sana. Namun, semakin banyak yang mereka temukan, semakin mereka sadar bahwa Pulau Jangkar tampaknya bukan sekadar tempat pertemuan para pejuang. Ada sesuatu yang lebih gelap dan misterius, sesuatu yang tak pernah diceritakan secara terang-terangan.
________________________________________
Setelah hari yang panjang di arsip, Zaki dan Alina memutuskan untuk beristirahat dan mengunjungi museum lokal kota keesokan harinya. Museum itu lebih kecil dari yang Zaki bayangkan, tapi di dalamnya tersimpan benda-benda yang mungkin bisa memberi petunjuk lebih banyak. Patung-patung tua, senjata peninggalan perang, dan diorama pertempuran di pesisir ini seolah bercerita tentang masa lalu yang penuh luka.
Alina, dengan jemarinya yang peka terhadap energi masa lalu, mulai menyentuh beberapa artefak yang dipajang di sana. Ia mendekati satu peti kayu besar yang tampak usang, namun di permukaannya terukir simbol yang membuatnya terdiam. Mata Alina menyipit saat tangannya menyentuh ukiran itu.
“Ada sesuatu di sini, Zaki,” ucap Alina pelan. “Ini bukan hanya benda mati. Ini… terasa seperti ada hubungannya dengan kakekmu.”
Zaki menatap peti itu, mencoba memahami apa yang dimaksud Alina. Ia melangkah lebih dekat, matanya mempelajari ukiran yang tak asing lagi. Ukiran itu adalah simbol yang sama seperti yang tertera di salah satu halaman jurnal kakeknya—sebuah tanda yang ia abaikan, namun sekarang terasa begitu penting.
“Kita sedang mendekati sesuatu,” bisik Zaki. “Tapi apa itu?”
Alina tak menjawab. Ia hanya memandangi peti itu, seakan mendengar bisikan dari benda tersebut. Mereka tahu bahwa rahasia yang mereka cari mulai terbuka sedikit demi sedikit.
---
Di dalam ruang arsip yang sunyi, Zaki dan Alina duduk dengan tubuh kaku, menghadap satu tumpukan dokumen yang baru saja mereka temukan. Kertas-kertas yang sudah mulai lapuk oleh waktu, beberapa di antaranya bertuliskan tangan, terasa dingin dan berat di jemari mereka. Mata Zaki menelusuri baris demi baris dengan kecepatan yang tak biasa. Setiap kata dalam dokumen itu seolah membawa gelombang baru dari masa lalu yang gelap, konspirasi yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.